SI KUCING DAN PARA AYAM
Duluuuuu.... Ibu dan Mbah Tung (Mbah Kakung Temanggung) selalu
mengajariku menyukai hewan, memelihara mereka sebaik-baiknya. Kata
mereka, "ingon-ingon iku nglembutke ati". Maksudnya, hewan peliharaan
itu bisa melembutkan hati. Sebab, ketika kita memeliharanya, dengan
sendirinya kita menumbuhkan rasa welas asih, peduli, tanggung jawab
untuk menjaganya agar selalu dalam kondisi baik.
Jaman aku masih
kecil, belum lagi menginjak usia masuk TK, keluargaku masih tinggal di
Kampung Semopuran. Aku punya kamar, tetapi aku lebih suka tidur di
loteng di atas dapur, sebab di sana ada kucing kembang telon yang sangat
cantik. Aku suka kucing itu. Mbah Tung sama Ibu yang rajin memberinya
makan. Aku selalu nginthil di belakang mereka, penuh rasa tertarik,
ingin tahu, mau ikut mencoba memberi makan. Mbah Tung memberi makan
kucing itu dengan diam. Tapi Ibuku sangat ekspresif. Ketika memberi
makan, ada saja yang dikatakannya pada si kucing kembang telon.
seakan-akan Ibu sedang mengajaknya bicara,"Iki Pus.... dipangan lho
yo... nganti entek, nganti wareg.... Nko nek wetenge wareg, mesthi ra
kepengen nyolong gereh... " lalu mulai cerita bla-bla-bla.... panjang
banget yang semuanya hanya menunjukkan betapa sayang dan pedulinya dia
pada si kucing.
Mbah Tung juga memelihara banyak ayam kampung.
Aku pun selalu ikut nginthil di belakangnya ketika ia membuat campuran
dedak untuk makan pagi dan sore, sesekali ditambah pipilan jagung,
sesekali dengan bonus segenggam beras. Aku ikut repot ngorak-arik damen
(jerami) ketika Mbah Tung membuat petarangan (tempat bertelur) ayam-ayam
babonnya. Dengan suka cita luar biasa kubantu ia mengambili telur-telur
putih yang sangat enak ketika digoreng atau diopor itu. Mbah Tung tidak
marah padaku meskipun aku suka "nyrimpungi" pekerjaannya.
Suatu
ketika, salah satu anak ayamnya yang telah tumbuh jadi dere (ayam
tanggung) diberikan padaku. Mbah Tung bilang, "Iku sing blorok abang
nggo Alin. Ojo lali dipakani terus yo...." Oalah Gusti, seneng banget
aku. itu si blorok tak pernah kubiarkan lepas dari pengawasanku.
Kukejar-kejar, kukempit, kuelus-elus terus-menerus. Berhari-hari aku
berlaku begitu. Sangat protektif. Marah pada ayam-ayam yang lain kalau
kupikir mereka merebut makanan ayam blorokku. Lalu, karena kuatir ayamku
kelaparan, kutangkap dia, lalu kubawa ke tempat penyimpanan dedak yang
bentuknya seperti tenggok besar bertutup yang terbuat dari bambu. Aku
mengurungnya di sana. Semalaman....
Pagi hari, Mbah Tung kaget
mendapati ada dere menciap-ciap di pedaringan dedak, dan... dedak-dedak
yang setenggok besar itu dikotori tahi ayam lumayan banyak.... Mbah Tung
marah, tapi setelah tahu itu hasil perbuatanku, ia tidak menujukan
kemarahannya padaku. Beliau diam, melepaskan si blorok, membersihkan
pedaringan dedak, lalu melakukan aktivitas harian seperti biasa, dan
tetap membiarkanku berada di sekitaran dirinya. Dalam diamnya, Mbah Tung
mengajariku banyak hal tentang ayam-ayam itu. Mbah Tung membiarkanku
"mengetahui karena mengalami, mengalami dengan cara ikut melakukan"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar