Senin, 29 Desember 2014

Mengenang Mbah Tung (1):

SI KUCING DAN PARA AYAM


Duluuuuu.... Ibu dan Mbah Tung (Mbah Kakung Temanggung) selalu mengajariku menyukai hewan, memelihara mereka sebaik-baiknya. Kata mereka, "ingon-ingon iku nglembutke ati". Maksudnya, hewan peliharaan itu bisa melembutkan hati. Sebab, ketika kita memeliharanya, dengan sendirinya kita menumbuhkan rasa welas asih, peduli, tanggung jawab untuk menjaganya agar selalu dalam kondisi baik.

Jaman aku masih kecil, belum lagi menginjak usia masuk TK, keluargaku masih tinggal di Kampung Semopuran. Aku punya kamar, tetapi aku lebih suka tidur di loteng di atas dapur, sebab di sana ada kucing kembang telon yang sangat cantik. Aku suka kucing itu. Mbah Tung sama Ibu yang rajin memberinya makan. Aku selalu nginthil di belakang mereka, penuh rasa tertarik, ingin tahu, mau ikut mencoba memberi makan. Mbah Tung memberi makan kucing itu dengan diam. Tapi Ibuku sangat ekspresif. Ketika memberi makan, ada saja yang dikatakannya pada si kucing kembang telon. seakan-akan Ibu sedang mengajaknya bicara,"Iki Pus.... dipangan lho yo... nganti entek, nganti wareg.... Nko nek wetenge wareg, mesthi ra kepengen nyolong gereh... " lalu mulai cerita bla-bla-bla.... panjang banget yang semuanya hanya menunjukkan betapa sayang dan pedulinya dia pada si kucing.

Mbah Tung juga memelihara banyak ayam kampung. Aku pun selalu ikut nginthil di belakangnya ketika ia membuat campuran dedak untuk makan pagi dan sore, sesekali ditambah pipilan jagung, sesekali dengan bonus segenggam beras. Aku ikut repot ngorak-arik damen (jerami) ketika Mbah Tung membuat petarangan (tempat bertelur) ayam-ayam babonnya. Dengan suka cita luar biasa kubantu ia mengambili telur-telur putih yang sangat enak ketika digoreng atau diopor itu. Mbah Tung tidak marah padaku meskipun aku suka "nyrimpungi" pekerjaannya. 

Suatu ketika, salah satu anak ayamnya yang telah tumbuh jadi dere (ayam tanggung) diberikan padaku. Mbah Tung bilang, "Iku sing blorok abang nggo Alin. Ojo lali dipakani terus yo...." Oalah Gusti, seneng banget aku. itu si blorok tak pernah kubiarkan lepas dari pengawasanku. Kukejar-kejar, kukempit, kuelus-elus terus-menerus. Berhari-hari aku berlaku begitu. Sangat protektif. Marah pada ayam-ayam yang lain kalau kupikir mereka merebut makanan ayam blorokku. Lalu, karena kuatir ayamku kelaparan, kutangkap dia, lalu kubawa ke tempat penyimpanan dedak yang bentuknya seperti tenggok besar bertutup yang terbuat dari bambu. Aku mengurungnya di sana. Semalaman.... 

Pagi hari, Mbah Tung kaget mendapati ada dere menciap-ciap di pedaringan dedak, dan... dedak-dedak yang setenggok besar itu dikotori tahi ayam lumayan banyak.... Mbah Tung marah, tapi setelah tahu itu hasil perbuatanku, ia tidak menujukan kemarahannya padaku. Beliau diam, melepaskan si blorok, membersihkan pedaringan dedak, lalu melakukan aktivitas harian seperti biasa, dan tetap membiarkanku berada di sekitaran dirinya. Dalam diamnya, Mbah Tung mengajariku banyak hal tentang ayam-ayam itu. Mbah Tung membiarkanku "mengetahui karena mengalami, mengalami dengan cara ikut melakukan"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Popular Posts