Rabu, 21 Oktober 2015

Hikmah (1)

PUCUK DICINTA ULAM PUN TIBA


Bertahun lalu, aku sudah lulus SMA dan menjadi mahasiswa biologi yang unyu-unyu.... Kesukaanku pada bunga, pepohonan, hewan, hutan, dan laut membuatku terjerumus ikut-ikutan aktif di LSM lingkungan yang menginduk ke WALHI. 

Suatu ketika kami punya gawe, mengadakan pameran, lomba menulis cerpen untuk anak SMA, dan workshop. Semuanya bertema "Pesona Merapi". Kami lembur berhari-hari, sampai sehari sebelum hari H kami baru selesai waktu senja menjelang maghrib. Semua teman pulang, sebagian berboncengan motor, sebagian ngonthel pit jengki dan pit mini. Tinggallah aku di depan gedung UC UGM. Sendiri, sedikit lapar, dan dalam dilema. 

Dilema?
Mengapa?

Ah, masalah klise. Di kantong baju uang sakuku tinggal 1.200 rupiah. Periode 1998-1999 uang sebesar itu cukup untuk ongkos ngopades. Tapi bila aku naik kopades untuk pulang ke rumah Ngori artinya aku harus puasa malam ini dan kelaparan besok pagi. Dan sebaliknya, uang itu memang cukup untuk membeli semangkuk bakso atau soto, tapi bila aku jajan maka aku harus jalan kaki pulang ke Ngori. Sungguh dilema buah simalakama... Padahal tubuhku telah capek sekali dan perutku lumayan keroncongan.

Aku tertawa sendiri akhirnya. "Hahaha, Ya Allah, terjadi lagi, dilema kenyang tapi kaki gempor atau kaki nyaman tapi perut lapar.... Hem..."

Aku keluar gerbang UC, sendirian. Anehnya, aku bukannya jalan ke arah bunderan ke tempat stopan kopades, tapi malah jalan ke arah Graha Sabha. Pas mentok di trotoarnya, aku nglemprak, termangu. Njuk tanpa sebab yang nyata malah terpesona pada Senja, menghormat ke matahari yang sukses melakukan kuningisasi langit barat. Benar-benar kelakuan di luar nalar...

Nah, lagi asyik-asyiknya bengong memandang matahari senja, aku dibikin terkejut oleh suara ibu-ibu setengah sepuh, "Nduk.... Maaf.... Apa njenengan bawa makanan nduk?"

Aku tentu saja langsung menggeleng. Si ibu terlihat sedih, dan lesu. "Nggih sampun.." katanya seraya ikutan ndeprok di trotoar.

Kupandangi ia. Secara instingtif aku merasa si ibu telah berjalan jauh. Ia tampak kehausan dan lapar. Dan menilik bajunya yang rapi meskipun lusuh, ia bukan pengemis. Lalu tiba-tiba saja mulutku ini berkata, "Bu, di bunderan sana ada angkringan atau penjual soto, makanlah ke sana. Ini, bawa saja uang ini." Dan uangku yang cuma 1.200 rupiah itu pun berpindah ke tangannya yang gemetar. Aku melihat mata si ibu menyorotkan rasa terima kasih, tapi juga malu. Dugaku, ia tak terbiasa menerima sedekah orang. Perlahan dia pergi ke arah yang kutunjukkan.

Lalu Aku? Ah, sepeninggal si ibu kegiatanku bertambah. ujung-ujung jariku tak henti menggaruk kepala yang nggak gatel, ganti mengusap-usap perut yang makin lapar, lalu memijit-mijit kaki yang makin terasa pegal. Ya Allah, jadi deh... kelaparanlah aku malam ini dan kaki tambah gempor jalan kaki 7 km pulang ke Ngori. Laa haula wa laa kuwwata illaa billaah...

Lalu adzan berkumandang dari arah masjid kampus. Baiklah... saatnya sholat maghrib...

Tapi belum lagi aku bangkit berdiri, sebuah sepeda motor berhenti di depanku. "Lin, ngopo e maghrib-maghrib isih ning kene?" sapanya. 

Aku jelas kaget dan geragapan. Siapa gerangankah ini? Masya Allah, ternyata Fahmi! Aku tertawa. "Ya Allah, kau kirimkan Fahmi untukku?!" sorakku dalam hati. Tanpa banyak kata langsung saja aku membonceng motornya. Terus ke mana? Yah, pasti mampir ke rumahnya laaaahhh... He he he... rumah Fahmi di Kana 5 adalah base camp kami para mantan anak Moehi 97. Terus surprise-nya, Fahmi bilang di Kana 5 ada Sigit dan Hasyim! Nah lo! Allah mau kasih kejutan apa lagi ya? Ha ha ha.

Di Kana 5 kami sholat maghrib berjamaah. Setelah itu, begitu salam terucap dan sajadah dilipat, Hasyim bilang, "Mi, ngelih ki, ayo metu!"

Wa, ini... rejeki datang ni...

Nyengir senang aku ngikut saja ke mana mereka pergi. Nggak jauh- jauh juga siiihhh, cuma ke arah Selokan Mataram. Ada Jakarta Fried Chicken di situ. Makan malam yang sangat mewah untukku. Sepuluh kali lipat uang 1.200 rupiahku tadi.

Kalau sudah begini, apa aku akan mendustakan nikmat Tuhanku? Apa aku akan mengingkari kebenaran janji Allah??? Kenyataannya Allah langsung membayar kontan janjinya. Sedekah hambanya diganti 10 Kali lipat, bahkan lebih. Bukankah Allah mempertemukanku dengan para sahabat hatiku? Bukankah Allah telah mengenyangkan perutku? Bukankah Allah telah meringankan langkahku yang semula berat ini sebab selepas isya akupun diantar pulang oleh Sigit sampai rumah? 

Masya Allaah...
Alhamdulillaah...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Popular Posts