MAYA INGIN MENGGAMBAR SAJA
Maya, gadis kecil itu bermata sipit, berkulit putih, dan berambut lurus. Maklum, ia blasteran Indonesia-China. Ia anak ketiga dari tiga bersaudara yang semuanya disekolahkan di BMD.
Maya pelukis alami. Dalam kesehariannya, ia sering kudapati sedang menggambar dalam keadaan apapun di sekolah, termasuk di tengah pelajaranku ketika seharusnya ia mengerjakan tugas, bekerja kelompok, maupun pada saat aku menjelaskan materi pelajaran. Meskipun hasil gambarnya luar biasa bagus, namun tak urung kebiasaannya menggambar di tengah pelajaran itu pun membuatku jengkel. Sebab kenyataannya, Maya benar-benar kesulitan memahami materi-materi IPA dan Matematika yang kuajarkan.
Aku menyadari, sungguh-sungguh sadar bahwa setiap anak unik, setiap anak memiliki bakatnya sendiri, setiap anak tak mungkin bisa dipaksa untuk menguasai semuanya. Aku pun tak ingin menuntutnya untuk suka dan jago Matematika atau IPA. Tidak. Bukan begitu. Namun setidaknya, aku ingin ia "bisa". Bisa konsentrasi mengikuti pelajaran dengan baik. Bisa mengerjakan tugasnya dengan tuntas. Bisa bekerja sama dalam kelompok bersama teman-temannya. Bisa mandiri dan percaya diri. Bisa memiliki sikap bertanggung jawab dan disiplin. Bisa menghargai orang-orang yang peduli terhadapnya. Bisa menghormati gurunya. Itu semua yang ingin kulihat ada dalam kepribadiannya. Berkali-kali aku berusaha menekankan hal itu padanya. Kuharap ia memahami maksudku.
Di kesempatan lain, aku juga berusaha menggali informasi tentang Maya pada rekan guru yang lain. Kulakukan itu untuk mengetahui keakuratan pengamatanku sendiri terhadapnya. Kami semua sharing tentang kebiasaan Maya, apa yang dilakukannya di tiap jam pelajaran, permasalahan apa di seputar dirinya, bagaimana reaksinya bila kami bersikap atau berkata begini begitu kepadanya. Kami juga berusaha mencari cara paling efektif untuk mengatasi permasalahan yang ada, agar Maya termotivasi dan kemampuan serta kesadaran dirinya berkembang optimal.
Pada akhirnya kami mengambil jalan keluar untuknya:
- Maya hanya boleh menggambar di jam istirahat atau setelah tugasnya selesai dikerjakan.
- Maya diharuskan membawa buku gambar atau buku sketsa sendiri dari rumah. Buku itu ditinggal di sekolah sehingga Maya tidak akan menghabiskan stok kertas kelas, baik kertas baru maupun bekas.
Alhamdulillaah, Maya mau menurut. Ia taati aturan itu. Ia tampak berusaha mengikuti pelajaran dan menyelesaikan tugas-tugasnya. Namun demikian, masih sering kudapati pandangan matanya yang tidak terfokus. Maya mengalami kesulitan untuk memahami instruksi penugasannya. Kami guru-gurunya harus ekstra sabar memberikan penjelasan berulang-ulang, step by step, langkah demi langkah, dengan tempo yang dilambatkan khusus baginya. Jadi Maya membutuhkan pendekatan yang bersifat personal.
Sebenarnya hanya kemampuan akademiknya yang bermasalah sedangkan aspek sosialnya baik-baik saja. Maya dapat bergaul dengan baik. Ia bermain dan bercanda gembira dengan semua teman perempuan di kelas. Namun tak urung kemampuan akademiknya yang kurang menggempur rasa percaya dirinya. Apalagi bila ia merasa diperbandingkan dengan kedua kakaknya sebab mereka dikenal sebagai murid yang cerdas, pintar, kritis, dan kreatif.
Aku harus berusaha keras menumbuhkan rasa percaya dirinya ini. Kadang kuceritakan padanya kisah orang-orang yang sukses karena berhasil memupuk bakat uniknya, ada pelukis, cheff, seniman tari, dll. Kukatakan padanya bahwa orang-orang itu tidaklah hebat di semua hal/bidang, tetapi mereka bisa sangat hebat di bidang yang menjadi bakatnya. Kukatakan padanya bahwa seseorang tidak perlu menguasai semua hal untuk sukses, cukup satu saja tapi harus hebat. Kuharap cerita yang kukisahkan padanya bisa membantunya.
Suatu hari, kutemukan celengan gerabah di lokerku. Celengan itu masih polos. Lalu kuingat di loker yang lain aku masih menyimpan cat akrilik dengan warna dasar merah, kuning, biru, dan hitam. Keisenganku muncul. Kebetulan hari itu aku punya waktu luang, dan aku butuh relaksasi. Maka kuambil celengan dan cat-cat itu lalu akupun beraksi. Seluruh permukaan celengan kubalur dengan cat hitam. Aku tak punya kuas, ujung-ujung jari tanganku langsung menggoreskan cat itu. Aku berlagak seperti Sang Maestro Affandi. Ha ha ha... Rasanya sungguh menyenangkan.
Kegiatanku menarik minat Maya. Selama pelajaran tadi berkali-kali ia menengok ke mejaku, seperti ingin sekali ikut menghias celengan gerabah. Ia segera menghambur ke mejaku begitu pelajaran usai dan masuk jam istirahat.
"Ms. Alin sedang apa?" tanyanya bersemangat. Aku tertawa, tak kujawab pertanyaannya tapi kutunjukkan gambar bunga yang mulai kugoreskan di atas cat dasar hitam.
"Waow! Bagus sekali, Ms...!" serunya. Lagi lagi aku tertawa. Ia terus memperhatikanku, "Jari-jari Ms. Alin belepotan! Mengapa Ms. Alin tidak memakai kuas?" tanyanya.
Masih tertawa kujawab pertanyaannya, "Soalnya... Ms. Alin nggak punya kuas." jawanku dengan mimik muka yang kubuat lucu.
Maya ikut tertawa, kemudian berseru, "Aku mau, Ms.! Aku mau coba!
Maya berlari ke lokernya untuk mengambil buku sketsa. Ia segera meletakkan bukunya di atas mejaku. Dengan bersemangat diraihnya tube-tube cat akrilikku. Ia asyik menggoreskannya ke atas kertas. Aku tersenyum. Kubiarkan dia tenggelam dalam keasyikannya. Aku sendiri asyik menggambari celenganku.
Beberapa waktu berselang. Tak kusadari Maya telah berhenti menguaska jarinya sampai kudengar suaranya, “Ms., kok Ms. Alin bisa punya warna hijau dan cokelat? Dari mana?” tanyanya, bola matanya mencari-cari tube-tube lain yang mungkin kusembunyikan. Pancaran matanya penasaran dan menyelidik.
Aku tersenyum, “Oh, yang untuk daun dan tangkai bunganya?”
“Iya!” jawabnya cepat.
“Ms. Alin pakai warna kuning dan biru, dicampur untuk membuat warna hijau.”
“Oh, kalau yang cokelat?”
“Kuning, merah, dan biru, semuanya dicampur.”
“Oke, aku mau coba!”
Setelah itu tangannya kembali meraih tube-tube akrilik itu. Ia melakukan eksperimen pencampuran warna. Kemudian berseru, “Ms. Hijaunya bisa beda-beda! Yang ini lebih terang dari yang itu!”
“Iya, memang begitu,” jawabku, “tergantung banyaknya warna biru atu kuning yang kamu campurkan.”
“Iya, betul!” serunya antusias.
Sementara Maya sibuk mencampur warna, kulirik gambarnya. Masya Allah! Aku sungguh terkejut. Maya telah menggambar seekor ayam jago. Warna-warna bulunya begitu cerah, paduan komposisi warna kuning, hitam dan merahnya begitu apik dan rapi. Dan yang lebih istimewa, gambar itu bertekstur timbul. Bagaimana bisa?
Kuperhatikan di mejaku berceceran kertas tissue yang telah belepotan cat. Aku ternganga. Sejak kapan? Untuk apa? Bagaimana?
Eksperimen Maya selesai. Ia mulai menorehkan warna lain ke gambarnya, cokelat dan hijau gelap pekat. Apa ia telah menambahkan warna hitam ke campuran warna hijaunya? Hemmm... mungkin saja.
Kembali aku terkejut melihat caranya menguaskan warna. Oh, ternyata Maya tak hanya menggunakan ujung-ujung jarinya. Sesekali ia memakai tissue yang dilipat atau dipelintir sedemikian rupa. Ada tissue yang ujungnya ditumpulkan dan ada pula yang diruncingkan. Tissue berujung runcing itu terutama untuk menggambar garis-garis bulu yang kecil dan halus. Dan dengan cara seperti itu ia membentuk tekstur timbul ayam jagonya.
Aku terpana. Aku terpesona. Kurasa, aku tak bisa lagi menyebut karyanya sebagai “gambar ayam jago”. Harusnya lebih pas kusebut “lukisan ayam jago”. Kuasan warna cokelat dan hijau gelap melembutkan komposisi warna lukisannya. Hasilnya menjadi lukisan yang seimbang, sempurna. Maya benar-benar sangat berbakat.
*****Kutuliskan cerita ini dalam Grub “Ayo Menulis” SD BMD Yogyakarta*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar