MISTERI HILANGNYA TELUR PEDAS
DAN GENTHONG AIR BERMINYAK
Menjelang waktu sholat dhuhur dan makan siang..... tiba-tiba terdengar dua seruan yang hampir bersamaan:
"Iki kok banyune genthong nglenga?" seru Mbah Tung. (artinya: ini kok air dalam gentong jadi berminyak?).
"Lo, iku jangane endhog kok entek tapis, sopo sing mangan?" seru Mak'e. (artinya: lo, itu sayur telurnya kok habis tandas, siapa yang makan?).
"Iki kok banyune genthong nglenga?" seru Mbah Tung. (artinya: ini kok air dalam gentong jadi berminyak?).
"Lo, iku jangane endhog kok entek tapis, sopo sing mangan?" seru Mak'e. (artinya: lo, itu sayur telurnya kok habis tandas, siapa yang makan?).
Apa yang terjadi?
Hi hi hi ..... ini memang agak aneh.... pelakunya langsung keluar
rumah, segera main panjat-panjatan pohon belimbing di halaman depan,
pura-pura tidak tahu-menahu telah menjadi penyebab krisis krusial di
dalam rumah!
Sambil ngedumel pelan-pelan, Mbah Tung menguras
genthong besar dari tanah liat yang super berat itu. Padahal semula
airnya telah benar-benar penuh. Dan untuk memenuhi genthong besar itu,
sepagian tadi Mbah Tung telah bekerja keras memompa air. Maklum, jaman
waktu itu belum ada pompa air listrik (dalam bahasa kami disebut SANYO,
meskipun sebenarnya itu hanyalah salah satu merk pompa air listrik).
Kali ini kerja keras Mbah Tung jadi dobel-dobel. Minyak yang menempel
pada dinding genthong sulit dihilangkan. Genthong harus diasahi (dicuci
bersih) menggunakan sabun jeruk (nah, ini adalah sabun colek favorit
waktu itu. Maklum, belum ada Sunlight). Jadi dalam proses pembersihan
itu, genthong harus beberapa kali dijungkir-balikkan ketika dibilas. Dan
tidak berhenti sampai di situ. Setelah bersih, genthong harus diisi
sebab air itu penting untuk keperluan harian yang mutlak harus memakai
air suci, yaitu wudhu dan memasak. Jadi siang itu Mbah Tung olahraga
lagi menggerakkan pengungkit pompa air manual yang lumayan berat, naik
turun - ngik ngok..., naik turun - ngik ngok..., naik
turun - ngik ngok..., naik turun - ngik ngok..., naik
turun - ngik ngok..., naik turun - ngik ngok... terus, terus,dan terus sampai gobyos!
Hasil final dari kerja keras itu: Mbah Tung ketinggalan jama'ah sholat dhuhur di langgar kampung!
Lalu bagaimana dengan sayur telur pedas yang hilang itu?
Hemmmm.... begini lo ceritanya. Pagi tadi, Mak'e (sebutan kami untuk
Mbah Putri Temanggung) masuk kandang. aku tahu kalau Mak'e masuk kandang
ayam keperluannya hanya satu: mengambil telur! Jadi dengan keceriaan
ala Alin si kutu loncat, aku ikut masuk kandang, ikut memunguti
telur-telur. Itu telur-telur kesayanganku, telur-telur kesukaanku, tak
boleh ketinggalan!
Asyiknya lagi, dari kandang, Mak’e langsung
mencuci telur-telur itu. Alamat nih, telur-telur itu bakalan dimasak,
nggak mungkin dijual. Nah-nah, Mak’e mengambil blarak, njuk ngejros rek
jros. Aasyik! Aku ambil bumbung (bambu pendek untuk meniupkan udara)
sembari teriak-teriak, “Aku sik nyebul! Aku sik nyebul!” (artinya: "Biar
aku yang meniup! Biar aku yang meniup!”) He he he, jaman waktu itu,
pawone Mak’e belum pake kompor minyak, masih pakai tungku kayu bakar.
Kayu bakar ditata di lubang tungku, blarak (daun kelapa) kering yang
pertama dibakar sebagai api pemancing. Kalau sudah ada ujung kayu yang
ikut terbakar, kami segera membesarkannya dengan cara meniupkan udara ke
dalamnya melalui bumbung. Tapi waktu itu aku terlalu keras
meniupkannya, dan tidak tepat sasaran… “Buuusss….” Semua abunya ikut
madul-madul… haduh, kelilipan…. Bener-bener bikin kelabakan….
Nah, ini, dimulailah episode ngedumelnya Mak’e. Bumbung itu diambil
alih, dan Mak’e meniupkan udara ke tungku. Api segera jadi, ketel berisi
telur segera ditengkrengke (diletakkan di atas tungku). O iya, ndak
lupa ke dalam ketel juga dimasukkan beberapa helai daun jambu kluthuk
(jambu biji). Tadi Mak’e minta daun-daun itu dari Mbah Jolopo. Lalu,
sembari menunggu telurnya direbus, Mak’e sibuk mengolah bumbu: bawang,
brambang, tomat, salam laos, kemiri, ketumbar, sere, jahe, dan… haduh!
Cilaka! La kok ada cabainya juga? Waaaahhhh…… Mak’e mau masak sayur
pedas! Sambel goreng! Ancaman ini… Sungguh-sungguh ancaman…..
Nah, ketel umop (airnya mendidih), ndak berapa lama telur
rebusnya matang. Airnya segera dibilas berkali-kali dengan air dingin,
biar telurnya bisa segera dikupas. Tentu saja bagian kupas-mengupas
telur itu aku ahlinya. Jadi, meskipun merasa kusrimpungi terus, Mak’e
membiarkanku mengupas telur sampai habis. Sementara itu, bumbu
digongsreng di atas wajan. Baunyaaaa…. Sedaaappp…. Tapi bener
saja, telur dimasak sambel goreng. Jadi kuahnya merah. Bagiku tampak
mengangah mengerikan! Artinya cuma satu: Telur pedas! Aku ndak bisa
makan telur-telur ayamku! Huuuuhhhh….
Sambel goreng telur segera
masak, tapi belum waktunya makan siang, masih terlalu pagi… Mak’e
menaruh telur-telur itu ke mangkok besar. Lalu menyimpannya di lemari
makan bagian paling atas. Aku memangdangnya sayu, oooohhhhh….
Telur-telur kesayanganku….
Mak’e pergi keluar rumah, Mbah Tung
sibuk dengan ayam-ayam, manuk puter (deruk putih), dan manuk
kutilangnya. Aku masih klinteran di sekitaran pawon. Ndak bisa lepas
dari telur-telur itu. Bukan letaknya yang tinggi yang membuatku
kebingungan. Aku pemanjat ulung. Pohon blimbing yang tinggi saja bisa
kupanjat sampai pucuk, apalagi cuma lemari? Aku bisa saja mengambil
telur-telur itu dengan mudah. Tapi bagaimana caranya membuat telur itu
jadi tidak pedas?
Hem…. Sudahlah! Yang penting ambil dulu!
Dengan
semangat, pintu lemari kubuka. Di dalamnya kompartemen lemari terbagi
menjadi empat rak. Kupanjat papan pertama, kupanjat papan kedua, lalu
yang terakhir….. nah, tangan kecilku bisa menjangkau mangkok. Nah,
telurnya berhasil kuambil. Hup! Langsung loncat ke bawah. Telur di
tangan, kutimang-timang…."Apa yang harus kulakukan?"
Ide bagus!
Cepat aku lari ke samping rumah,
dengan semangat kubuka lawang tugelan (pintu dengan dua ambang atas
bawah) langsung menuju genthong besar. Hi hi hi… tutup genthong kubuka, telur kulempar ke dalam, "Byurrr...!" weeeehhhh.... bunyi ceburan yang asyik! Telur kutangkap lagi, kuceburkan lagi, kutangkap lagi, kuceburkan lagi, sampai semua warna merah mengerikan itu hilang terbilas di
sana. Oke! sudah beres nih! Telur
kumakan, lima kali gigitan yang sungguh memuaskan.....
Sudah?! Apakah berhenti sampai di situ?!
Ho ho ho ho ho ..... tentu saja tidak! Ha ha ha… Ketahuilah! Kelakuan itu kuulang, lagi, lagi, lagi sampai enam kali, sampai telur dalam mangkok habis tandas!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar