Asa Sang Pemilik Harapan
Kusebut ia Asa yang berarti harapan, karena tentu saja setiap anak adalah perwujudan harapan dari kedua orang tuanya. Setidaknya, itulah yang selama ini kuyakini.
Sore telah menurun menjemput senja. Binar jingga mentari menguas langit barat. Pukul lima kurang seperempat, itu bunyi penunjuk waktu di HP Chinaku. Perlahan aku berjalan menuju gerbang depan, Insya Allah sebentar lagi suamiku akan datang menjemput. Di pelataran Play Ground TK langkahku bersirobok dengannya. Dia Asa, yang entah kenapa terlihat begitu tekun berlari memutari Play Ground.
“Asa, kok belum pulang?” sapaku.
Sambil melintas cepat ia menyahur, “Iya Ms. Alin, sudah biasa!”
Biasa? Yah, memang aku sering melihatnya masih tinggal di sekolah sampai sore. Tapi baru kali inilah aku begitu tertarik ingin mengajaknya bercakap. Juga ingin tahu mengapa ia terus berlari keliling play ground seperti itu. Maka aku sengaja berhenti dan duduk di bangku keramik depan perpustakaan barat, menunggunya.
Asa terus berlari sampai beberapa putaran. Kusadari kini ia telah tumbuh tinggi. Tinggi badannya bahkan telah melampauiku. Ah, aku masih ingat dulu seperti apa Asa di kelas 4. Asa anak yang sangat pendiam, cenderung bersikap soliter, tak pernah terlihat bermain bersama teman sebayanya. Asa mengubur hari demi harinya dengan membaca buku. Seringkali ia kehilangan waktu di pojok perpustakaan. Di antara teman-teman dan para gurunya, Asa sering hilang tak terlihat. Adalah hal biasa ia tertinggal pelajaran sampai sejam karena tak menyadari bahwa waktu istirahat telah usai. Ia tenggelam di dunia buku. Sungguh, Asa adalah anak yang berkawan sunyi. Kubayangkan pastilah hidupnya sangat sepi.
Ketika ingatanku berkilas balik, tak terasa 5 putaran lari telah ia selesaikan. Kini kulihat Asa berhenti, berdiri setengah terbungkuk dengan napas terengah-engah. Butir-butir keringat menurun malas di wajah dan lehernya. Kubiarkan ia beberapa saat hingga kulihat membaik dan napasnya tak lagi terdengar memburu. Lalu kulambaikan tangan memanggilnya, kuajak ia duduk di sampingku.
Asa beranjak ke arahku. Tangannya terulur meminta bersalaman denganku. Kusambut tangan itu dan kubiarkan ia membawanya ke arah hidungnya. Aku tersenyum, ah, terasa basah, tentu karena seluruh pori wajahnya berseliput peluh.
“Ada apa, Ms. Alin?” tanyanya.
“Tak ada apa-apa,” jawabku, “hanya sedang menunggu jemputan.”
“Oh,” gumamnya, lalu ia duduk, diam.
“Capek, ya?” pancingku, mengajaknya bicara. Ia memberikan jawaban tanpa kata, hanya mengangguk, "Kok kamu lari-larian gitu? Kenapa?” tanyaku lagi.
Asa menunduk, “Nggak kenapa-napa, cuma kepengin lari aja.”
Sejenak kupandangi wajahnya, mencoba mencari kata yang tersembunyi di balik wajah minim ekspresi yang diperlihatkannya pada dunia. Aku memutar otak, berusaha menemukan rangkaian kata yang tepat untuk melanjutkan obrolan dengannya. Aaaaaahhhh.... ternyata tak mudah. Asa terlalu pasif. Hidup sunyinya seakan telah menjadi bagian identitasnya. Duduknya tegak diam, namun matanya.... ah, entahlah...
“Biasanya orang selalu punya alasan untuk melakukan sesuatu. Tidak mungkin tidak...,” lanjutku. Aku tak berharap banyak bahwa ia akan menanggapinya. Tapi...
“Aku hanya iseng, kok,” gumamnya.
Iseng?! Keningku berkerut, hatiku tak mau percaya, “Iseng? Jogging serius sampai keringetan gitu? Sampai napasmu ngos-ngosan gitu? Cuma iseng?” tanyaku bertubi.
Asa tak punya senyum. Wajahnya tetap minim ekspresi. Tapi ia menjawab, “Iya Ms... Aku iseng. Cuma buat ngilangin bosen.”
“Oh!” hanya itu tanggapanku, dan aku kehilangan kata lagi untuk beberapa saat, “Baguslah Asa milih lari-lari untuk membunuh rasa bosan. Kegiatan yang menyehatkan.” Kataku akhirnya, sok bijak, “tapi biasanya Ms. Alin selalu melihatmu membaca buku. Di sini, di ayunan itu, juga di kursi pos satpam. Apa hari ini Asa nggak bawa buku? Ms. Alin bawa, lo...”
Kulihat perubahan di wajahnya. Tetap terasa sunyi dan jauh. Dan matanya itu..., “Buku juga kadang jadi membosankan, Ms.... Aku Cuma ingin hari ini segera selesai...”
Deg! Uuuuhhh.... Ya Allah... Aku sedang tersesat di mana ya? Anak ini sungguh tak biasa. Kini kupandangi ia baik-baik. Tiba-tiba saja hatiku ingin memastikan bahwa ia baik-baik saja. Kini kusadari bahwa perubahan wajahnya adalah perubahan yang gelap. Asa tengah menarik emosinya masuk jauh lebih dalam, menyimpannya rapat hanya untuk dirinya sendiri. Selama kami mengobrol, tak sekalipun matanya menatapku. Matanya memandang ke mana-mana namun sebenarnya tak melihat apa-apa. Kesannya sepi, sendirian, tak tertambat. Matanya cerminan jiwa yang berlaku seperti layang-layang putus tali, berharap ada seseorang yang kelak kan menangkapnya.
“Asa, kok Ms. Alin lihat setiap hari kamu selalu pulang sore? Siapa yang menjemput?” tanyaku, mencoba menggali lebih dalam.
“Nggak cuma pulang sore, Ms... Seringnya pulang manghrib,” jawabnya tandas, “Mama yang mengantar jemput.”
“Oh, mamamu kerja?
“Iya, mama kerja sampai jam lima.”
“Kenapa kamu nggak ikut antar jemput sekolah?”
“Kata mama mahal, Ms... Lagian di rumah juga sendirian, nggak ada siapa-siapa. Sama aja.”
“Begitu?”
Baru saja aku mau melanjutkan pembicaraanku, HP-ku berbunyi nyaring, miss call dari suamiku. Ia telah menungguku di depan gerbang. Kupandangi anak itu sejenak. Lalu terpaksa aku berpamit kepadanya,” Maaf, Asa, Ms. Alin pulang dulu.”
“Sudah dijemput, ya?”
Aku mengangguk. Asa mengulurkan tangannya lagi dan kami bersalaman. Kutinggalkan ia sendirian. Penunjuk waktu berdetik di angka 17.20.
Di sepanjang perjalanan pulang aku diam. Pikiranku dipenuhi oleh berbagai hal. Perasaanku tertarik ke sana ke mari. Dan diamku membuat heran suamiku.
“Kenapa, Ndhuk? Ada apa?”
“Nggak kenapa-napa, Abi...”
“Kok diam? Biasanya kamu langsung ceriwis, cerita ini itu.”
“Nggak papa, Bi. Alin agak capek.”
“Oh, Kelamaan nunggu Abi, ya? Maaf, Ndhuk, tadi ada pertemuan dengan suplayer... Pulangnya jadi molor.”
“Iya Bi, nggak papa.”
Motor kami terus melaju. Aku terus terdiam dan suamiku membiarkanku seperti itu sampai rumah.
Sampai di rumah aku merasa benar-benar “klenger”. Kehamilanku yang telah masuk usia 3 bulan ternyata sangat mempengaruhi ketahanan fisikku. Perutku terasa kencang, tapi syukurlah kali ini tanpa rasa mual. Suamiku tanggap pada kondisiku. Ia memapahku ke kamar dan memintaku berbaring saja. Aku menurut.
Tak berapa lama bunyi air mendidih dalam cerek terdengar kencang, disusul bunyi ceklikan tanda api kompor dimatikan. “Ndhuk, mandi dulu, air panasnya sudah siap! Ayo, biar bisa segera sholat maghrib!” seru suamiku.
Perlahan aku bangun. Rasanya berat sekali. Tapi kerja keras suamiku bukan hanya itu. Ternyata di meja makan telah tersedia 2 gelas teh hangat, satu untukku dan satu untuknya. Sungguh, aku jadi terharu. Alhamdulillaah, suamiku begitu baik.
“Handuknya sudah di kamar mandi, Ndhuk.”
“Iya, Abi. Terima kasih,” sahutku. Aku segera mandi.
Guyuran air hangat terasa nikmat, dan kehangatan kasih suamiku membuatku nyaman. Allah sungguh Maha Rahman dan Rahim. Tapi meskipun begitu, masih saja pikiranku lekat pada Asa. Ada timbunan rasa yang belum terselesaikan di hatiku. Sampai selepas Isya masih juga aku terus diam termenung.
“Ndhuk, kamu baik-baik saja? Tak ada yang terasa sakit, to?” tanya suamiku dengan khawatir.
“Alin nggak papa,” jawabku.
“Ayo cerita! Pasti ada sesuatu yang kamu pikirkan,” pintanya.
Pada akhirnya kukatakan semua padanya, tentang Asa. Kuceritakan keseharian anak itu, juga keterpaksaannya menunggu jemputan yang selalu amat sangat telat setiap hari. Kuceritakan juga kejadian sore tadi.
Beberapa saat suamiku terdiam. Tapi kemudian ia berkata, “Kasihan anak itu, Ndhuk. Coba, di saat semua temannya telah pulang, beristirahat, mandi, bercengkerama atau bermain dengan teman-teman dan saudara-saudaranya, anak itu masih harus menahan rasa bosan berjam-jam. Kebayang, kan? Pasti setengah mati rasanya.”
Aku mengangguk. Memang bayangan seperti itulah yang dari tadi terus menari di hatiku.
“Anak itu pastilah telah berusaha begitu keras membunuh rasa pegalnya. Ya pegal di hati, ya pegal fisik di punggung dan kaki-kakinya. Gendhuk sendiri pasti paham tentang ini, sebab hampir tiap hari juga Gendhuk menunggu jemputan Abi,” lanjutnya.
Aku mengangguk lagi. Memang semua hal itu juga telah berlarian di pikiranku sedari tadi.
“Dan hal yang paling menyedihkan adalah anak itu sebenarnya sangat kesepian...” pungkas suamiku.
Demi mendengar kalimat terakhir ini, pertahananku jebol. Air mataku mengalir. Aku terisak-isak. Suamiku terkejut dengan reaksiku. Dengan lembut ia peluk aku, dibusainya rambutku, “Kok malah nangis? Apa Asa sangat berarti untukmu? Apa Asa sangat penting bagimu?”
Penuhnya rasa di dadaku membuncah. Seperti lelehan lava, akhirnya semua mengalir lewat mulutku, “Abi benar, anak itu kesepian. Sejak kapan? Oh, mungkin sejak ia dilahirkan.... Abi, kedua orang tuanya bekerja, berangkat pagi pulang sore hingga malam. Sejak kapan? Oh, mungkin sejak Asa belum lagi dilahirkan.”
Suamiku mendengarkanku, dan banjir air kata-kataku menderas, “Abi, tadi Asa bilang bahwa pulang lebih awal pun percuma, sama saja, tak ada siapa-siapa di rumah. Sejak kapan itu berlangsung? Oh, mungkin sepanjang ingatan hidupnya. Bayangkan, Abi, apa yang paling dibutuhkan seorang anak?”
Suamiku menghela napas, namun sepertinya ia tahu aku belum selesai. Ia menungguku meneruskan kata-kataku.
“Anak yang normal membutuhkan pelukan kasih orang tuanya. Kemampuan verbal, kemampuan berkomunikasi dengan orang lain, kemampuan menjalin pertemanan, semua itu akan berkembang dengan baik bila anak memiliki cukup waktu bercengkerama dengan orang-orang yang seharusnya terus mengawal perkembangannya. Asa kehilangan itu semua.”
Aku terus terisak. Banyak sekali yang ingin kukatakan susul-menyusul. Tapi semua itu terlalu banyak. Suamiku dengan sabar terus membelaiku. Ia ingin aku bisa mengeluarkan semua isi hatiku. Ia merasa adalah penting baginya memastikanku dalam keadaan baik, secara emosinal maupun fisikal. Dan ia tahu, kali ini aku sedang berada di puncak kecemasanku.
“Abi, yang membuatku prihatin bukan sekedar masalah telat menjemput setiap hari itu, tapi akar permasalahan yang berefek pada perkembangan kepribadian anak itu. Asa adalah anak yang kesepian. Kesepiannya diakibatkan karena ia selalu merasa ditinggalkan sendirian oleh orang-orang yang seharusnya ada di sampingnya, yang seharusnya melindunginya, memahami kecemasan, kesedihan dan ketakutannya, yang mau mendengarkan ceritanya baik yang gembira maupun sedih, yang seharusnya dapat dipercayainya. Dalam hal ini tentu saja orang itu terutama adalah kedua orang tuanya.”
“Asa merasa dirinya tidak berharga karena selalu menjadi nomor dua atau yang kesekian dari semua prioritas yang ada. Ia menjadi begitu pasif menyikapi lingkungan sekitarnya. Ia mengalami kesulitan yang sangat besar untuk mengembangkan cara-cara bergaul yang baik dan menyenangkan sehingga selalu gagal menarik perhatian dan mendapatkan simpati teman atau sahabat. Ia kehilangan kemampuan menjalin kontak sosial dengan teman-teman sekolanya. Asa kehilangan kepercayaan diri hingga cenderung mengisolasi diri.”
“Selama ini, Asa berusaha lari dari perasaannya. Pelariannya adalah buku. Ia membaca, membaca dan terus membaca. Tapi buku bukanlah kawan yang bisa diajak bicara dan berbagi perasaan. Buku tak bisa diajaknya bermain dan tertawa lepas untuk suatu yang konyol dan menggelikan. Buku tak selalu bisa memberikan pelepasan emosi dari setiap ketakutan dan kemarahan yang dipendamnya. Buku tetap terus membisu ketika ia membutuhkan dukungan yang menguatkan semangatnya. Dan pada titik puncak kehampaannya, buku pun menjadi membosankan.”
“Dan kali ini, Asa lari dari kesepiannya dengan membawa lari tubuh kurusnya itu. Ia terus berlari-dan terus berlari sampai ia tidak kuat lagi berlari. Ia lakukan itu untuk mematikan kesepian di hatinya, membunuh rasa bosan. Tapi mungkinkah itu?”
Hening meraja. Isakku tertahan-tahan. Napas suamiku terasa di keningku. Dadanya telah basah oleh air mataku. Tatap matanya redup, menandakan dalamnya renung yang ia lakukan. Ia masih terus berusaha mencari pemahaman, mengapa aku bereaksi begitu emosional tentang permasalahan Asa. Dugaan awalnya sederhana, aku sedang sensitif karena kehamilanku. Semua orang toh sudah membekan warning padanya bahwa perempuan hamil cenderung memiliki gejolak emosi yang tak stabil. Naik Turin, gampang marah, gampang nangis. Tapi tetap saja ia merasa bahwa kali ini aku bukan sekedar sedih, tetapi justru menyimpan kecemasan yang dalam.
"Abi, di sekolahku, bukan hanya Asa seorang yang mengalami kesepian. Ada banyak anak lainnya. Gejala perilaku yang mereka tunjukkan berbeda tapi intinya sama. Anak-anak itu mengalami kesulitan yang sangat besar untuk bersosialisasi dengan teman-teman sebayanya. Asa adalah tipe menarik diri. Ada yang bertipe agresif, 'ngladaki', cenderung bersikap tidak menyenangkan terhadap teman dan tak sopan pada guru. Ada juga yang kedewasaan emosi dan penalarannya menjadi tak berkembang sesuai perkembangan umurnya. Dan aku takut, Abi.... Alin sungguh merasa takut..." keluhku.
"Anak-anak itu berada dalam keadaan yang sama, keberadaannya terkalahkan oleh kesibukan kerja orang tuanya. Mereka serba tercukupi secara finansial, bahkan berlebih. Namun kebutuhan dasarnya yang lain akan rasa nyaman, pemenuhan cinta, rasa aman terayomi begitu kurang. Jiwa mereka menjadi kering dan layu. Jiwa-jiwa yang terlantar dari kasih orang tuanya sendiri." Kuhela napasku yang tersengal dalam isak, "Alin takut, Abi... Sungguh-sungguh merasa takut..."
Tubuh suamiku bergerak. Ia kecup keningku, ia busai punggungku, dan berbisik, "Ndhuk, sekarang Abi mengerti.. Abi paham mengapa kamu sangat cemas, mengapa kamu menangis..." Sembari mengatakan itu, tangan suamiku beralih ke perutku, mengelusnya lembut, "Kamu mencemaskan anak ini, kamu takut apa yang menimpa Asa akan dialami juga oleh anak kita..."
Aku tergugu. Kupelukkan tanganku erat ke tubuhnya, kubenamkan wajahku makin dalam ke dadanya. Aku tak menjawab, tapi bahasa tubuhku telah cukup sebagai jawaban. Suamiku menghela napas, "Ndhuk, tidak akan... Kita tidak akan membiarkan itu!" tegasnya.
"Abi, lihatlah keadaan kita. Setiap hari kitapun harus bekerja. Setiap hari kita pulang di atas jam lima. Setiap hari sesampainya di rumah kita sama-sama kecapekan, klenger, payah, keleh-keleh. Bahkan hanya untuk mrnyiapkan minum dan makan malam untuk Abi, Alin membutuhkan usaha demikian besar saking lelahnya. Abi sendiri tahu, fisik Alin tidak kuat, Alin juga temperamen, emosi Alin begitu gampang tersulut, dan makin menjadi karena kelelahan"
"Ndhuk, di mata Abi, Ndhuk Alin baik-baik saja. Kamu istri yang baik. Abi tahu semua usaha terbaikmu. Abi senang dan Abi berterima kasih. Abi yakin, kelak nanti ketika anak kita lahir, kamu pun akan sanggup menjadi ibu yang baik."
"Abi, apakah keyakinan saja cukup?"
"Yang terpenting di sini untuk menghadapi masalah ini adalah kesadaran. Kesadaran bahwa anak adalah amanah Allah, keselamatannya
fid dunya wal akhirat adalah tanggung jawab kita. Kesadaran, Ndhuk... Bukan sekedar pengetahuan. Kita harus selalu menyadari, bukan sekedar mengetahui."
"Abi.... Tapi....,"
"Ndhuk, kesadaran itulah awal pijakan kita untuk selalu meletakkan prioritas hidup. Kita tidak akan pernah mengedepankan kepentingan kerja yang hanya untuk kerja di atas kewajiban kita terhadap anak. Insya Allaah...."
"Berpikirlah positif, Ndhuk... Dudukkan semua hal pada posisi semestinya. Lakukan yang terbaik dari apa yang harus kita lakukan. Tidak perlu berlebihan dalam menyikapi apapun. Kita akan hadapi hidup kita bersama, Ndhuk. Kita akan saling mengingatkan. "Setelah itu, pasrahkan semua pada Allah. Allah-lah pemilik segala kekuatan dan daya upaya. Allah-lah tempat kita menyembah, tempat kita meminta pertolongan, dan tempat kita kembali."
Aku makin tergugu. Kecemasanku mengalir keluar. Aku butuh waktu untuk mengolah dan mencerna semua ini. Aku butuh waktu untuk menenangkan diri. Tapi aku percaya, sangat mempercayai kesungguhan suamiku. Dan untuk saat ini, itu cukup.
"Istirahat, Ndhuk.... Tidurlah!"
"Ya, Abi..."
***** Kutuliskan cerita ini dalam Grup "Ayo Menulis" di SD BMD Yogyakarta *****