Jumat, 23 Oktober 2015

Para Murid (2)

MAYA INGIN MENGGAMBAR SAJA


Maya, gadis kecil itu bermata sipit, berkulit putih, dan berambut lurus. Maklum, ia blasteran Indonesia-China. Ia anak ketiga dari tiga bersaudara yang semuanya disekolahkan di BMD.

Maya pelukis alami. Dalam kesehariannya, ia sering kudapati sedang menggambar dalam keadaan apapun di sekolah, termasuk di tengah pelajaranku ketika seharusnya ia mengerjakan tugas, bekerja kelompok, maupun pada saat aku menjelaskan materi pelajaran. Meskipun hasil gambarnya luar biasa bagus, namun tak urung kebiasaannya menggambar di tengah pelajaran itu pun membuatku jengkel. Sebab kenyataannya, Maya benar-benar kesulitan memahami materi-materi IPA dan Matematika yang kuajarkan.

Aku menyadari, sungguh-sungguh sadar bahwa setiap anak unik, setiap anak memiliki bakatnya sendiri, setiap anak tak mungkin bisa dipaksa untuk menguasai semuanya. Aku pun tak ingin menuntutnya untuk suka dan jago Matematika atau IPA. Tidak. Bukan begitu. Namun setidaknya, aku ingin ia "bisa". Bisa konsentrasi mengikuti pelajaran dengan baik. Bisa mengerjakan tugasnya dengan tuntas. Bisa bekerja sama dalam kelompok bersama teman-temannya. Bisa mandiri dan percaya diri. Bisa memiliki sikap bertanggung jawab dan disiplin. Bisa menghargai orang-orang yang peduli terhadapnya. Bisa menghormati gurunya. Itu semua yang ingin kulihat ada dalam kepribadiannya. Berkali-kali aku berusaha menekankan hal itu padanya. Kuharap ia memahami maksudku.

Di kesempatan lain, aku juga berusaha menggali informasi tentang Maya pada rekan guru yang lain. Kulakukan itu untuk mengetahui keakuratan pengamatanku sendiri terhadapnya. Kami semua sharing tentang kebiasaan Maya, apa yang dilakukannya di tiap jam pelajaran, permasalahan apa di seputar dirinya, bagaimana reaksinya bila kami bersikap atau berkata begini begitu kepadanya. Kami juga berusaha mencari cara paling efektif untuk mengatasi permasalahan yang ada, agar Maya termotivasi dan kemampuan serta kesadaran dirinya berkembang optimal.

Pada akhirnya kami mengambil jalan keluar untuknya:
  1. Maya hanya boleh menggambar di jam istirahat atau setelah tugasnya selesai dikerjakan.
  2. Maya diharuskan membawa buku gambar atau buku sketsa sendiri dari rumah. Buku itu ditinggal di sekolah sehingga Maya tidak akan menghabiskan stok kertas kelas, baik kertas baru maupun bekas.

Alhamdulillaah, Maya mau menurut. Ia taati aturan itu. Ia tampak berusaha mengikuti pelajaran dan menyelesaikan tugas-tugasnya. Namun demikian, masih sering kudapati pandangan matanya yang tidak terfokus. Maya mengalami kesulitan untuk memahami instruksi penugasannya. Kami guru-gurunya harus ekstra sabar memberikan penjelasan berulang-ulang, step by step, langkah demi langkah, dengan tempo yang dilambatkan khusus baginya. Jadi Maya membutuhkan pendekatan yang bersifat personal.

Sebenarnya hanya kemampuan akademiknya yang bermasalah sedangkan aspek sosialnya baik-baik saja. Maya dapat bergaul dengan baik. Ia bermain dan bercanda gembira dengan semua teman perempuan di kelas. Namun tak urung kemampuan akademiknya yang kurang menggempur rasa percaya dirinya. Apalagi bila ia merasa diperbandingkan dengan kedua kakaknya sebab mereka dikenal sebagai murid yang cerdas, pintar, kritis, dan kreatif. 

Aku harus berusaha keras menumbuhkan rasa percaya dirinya ini. Kadang kuceritakan padanya kisah orang-orang yang sukses karena berhasil memupuk bakat uniknya, ada pelukis, cheff, seniman tari, dll. Kukatakan padanya bahwa orang-orang itu tidaklah hebat di semua hal/bidang, tetapi mereka bisa sangat hebat di bidang yang menjadi bakatnya. Kukatakan padanya bahwa seseorang tidak perlu menguasai semua hal untuk sukses, cukup satu saja tapi harus hebat. Kuharap cerita yang kukisahkan padanya bisa membantunya.

Suatu hari, kutemukan celengan gerabah di lokerku. Celengan itu masih polos. Lalu kuingat di loker yang lain aku masih menyimpan cat akrilik dengan warna dasar merah, kuning, biru, dan hitam. Keisenganku muncul. Kebetulan hari itu aku punya waktu luang, dan aku butuh relaksasi. Maka kuambil celengan dan cat-cat itu lalu akupun beraksi. Seluruh permukaan celengan kubalur dengan cat hitam. Aku tak punya kuas, ujung-ujung jari tanganku langsung menggoreskan cat itu. Aku berlagak seperti Sang Maestro Affandi. Ha ha ha... Rasanya sungguh menyenangkan.

Kegiatanku menarik minat Maya. Selama pelajaran tadi berkali-kali ia menengok ke mejaku, seperti ingin sekali ikut menghias celengan gerabah. Ia segera menghambur ke mejaku begitu pelajaran usai dan masuk jam istirahat.

"Ms. Alin sedang apa?" tanyanya bersemangat. Aku tertawa, tak kujawab pertanyaannya tapi kutunjukkan gambar bunga yang mulai kugoreskan di atas cat dasar hitam. 
"Waow! Bagus sekali, Ms...!" serunya. Lagi lagi aku tertawa. Ia terus memperhatikanku, "Jari-jari Ms. Alin belepotan! Mengapa Ms. Alin tidak memakai kuas?" tanyanya.
Masih tertawa kujawab pertanyaannya, "Soalnya... Ms. Alin nggak punya kuas." jawanku dengan mimik muka yang kubuat lucu.
Maya ikut tertawa, kemudian berseru, "Aku mau, Ms.! Aku mau coba!

Maya berlari ke lokernya untuk mengambil buku sketsa. Ia segera meletakkan bukunya di atas mejaku. Dengan bersemangat diraihnya tube-tube cat akrilikku. Ia asyik menggoreskannya ke atas kertas. Aku tersenyum. Kubiarkan dia tenggelam dalam keasyikannya. Aku sendiri asyik menggambari celenganku. 

Beberapa waktu berselang. Tak kusadari Maya telah berhenti menguaska jarinya sampai kudengar suaranya, “Ms., kok Ms. Alin bisa punya warna hijau dan cokelat? Dari mana?” tanyanya, bola matanya mencari-cari tube-tube lain yang mungkin kusembunyikan. Pancaran matanya penasaran dan menyelidik.

Aku tersenyum, “Oh, yang untuk daun dan tangkai bunganya?”
“Iya!” jawabnya cepat.
“Ms. Alin pakai warna kuning dan biru, dicampur untuk membuat warna hijau.”
“Oh, kalau yang cokelat?”
“Kuning, merah, dan biru, semuanya dicampur.”
“Oke, aku mau coba!”

Setelah itu tangannya kembali meraih tube-tube akrilik itu. Ia melakukan eksperimen pencampuran warna. Kemudian berseru, “Ms. Hijaunya bisa beda-beda! Yang ini lebih terang dari yang itu!”
“Iya, memang begitu,” jawabku, “tergantung banyaknya warna biru atu kuning yang kamu campurkan.”
“Iya, betul!” serunya antusias.

Sementara Maya sibuk mencampur warna, kulirik gambarnya. Masya Allah! Aku sungguh terkejut. Maya telah menggambar seekor ayam jago. Warna-warna bulunya begitu cerah, paduan komposisi warna kuning, hitam dan merahnya begitu apik dan rapi. Dan yang lebih istimewa, gambar itu bertekstur timbul. Bagaimana bisa?

Kuperhatikan di mejaku berceceran kertas tissue yang telah belepotan cat. Aku ternganga. Sejak kapan? Untuk apa? Bagaimana?

Eksperimen Maya selesai. Ia mulai menorehkan warna lain ke gambarnya, cokelat dan hijau gelap pekat. Apa ia telah menambahkan warna hitam ke campuran warna hijaunya? Hemmm... mungkin saja. 

Kembali aku terkejut melihat caranya menguaskan warna. Oh, ternyata Maya tak hanya menggunakan ujung-ujung jarinya. Sesekali ia memakai tissue yang dilipat atau dipelintir sedemikian rupa. Ada tissue yang ujungnya ditumpulkan dan ada pula yang diruncingkan. Tissue berujung runcing itu terutama untuk menggambar garis-garis bulu yang kecil dan halus. Dan dengan cara seperti itu ia membentuk tekstur timbul ayam jagonya.

Aku terpana. Aku terpesona. Kurasa, aku tak bisa lagi menyebut karyanya sebagai “gambar ayam jago”. Harusnya lebih pas kusebut “lukisan ayam jago”. Kuasan warna cokelat dan hijau gelap melembutkan komposisi warna lukisannya. Hasilnya menjadi lukisan yang seimbang, sempurna. Maya benar-benar sangat berbakat.

*****Kutuliskan cerita ini dalam Grub “Ayo Menulis” SD BMD Yogyakarta*****


Rabu, 21 Oktober 2015

Hikmah (2)

MENEMUKAN MAKNA DZIKIR


Aku adalah makhluk pencemas. Betapa setiap hari ada saja yang membuat hatiku ini gundah, bingung, takut.... Entah itu karena kesehatanku yang buruk, aku menderita kolesterol tinggi, anemia parah, HB darah sangat rendah, bronchiasmatis, trigliserid darah tinggi, gula darah selalu menjauhi normal, vertigo, asam lambung tinggi. Juga karena mengkhawatirkan jodoh, aku takut mati sebelum merasakan nikmatnya menikah dan bersuami. Lalu takut bahwa setelah menikah aku tak akan bisa punya anak karena aku suspect PCOS. Lalu masih ditambah dengan seribu kecemasan dan kebingungan dalam tumpukan masalah kerja dan keluarga.

Rasanya hidupku begitu sempit dan sumpek. Tapi, setakut apapun aku pada hidup, ternyata aku lebih takut pada rasa kesepian dan pada mati. Namun lagi-lagi, kesepianku dan ketakutanku pada maut makin mempersempit hidupku. Sungguh lingkaran setan yang terkutuk! Astaghfirullaah....

Aku beruntung, Allah menciptakanku sebagai pribadi yang terbuka, dan memberikan sedikit kemampuan menulis padaku. Bukan untuk orang lain, tapi justru untuk diriku sendiri. Dari tulisanku sendiri aku bisa lebih mengenal diriku. Dan itu menghadirkan rasa malu.

Aku tak berhenti bertanya mengapa aku tampil begitu buruk, lemah, penakut.... Mengapa?

Melalui tahun demi tahun aku mencoba mencari, apa yang bisa membuatku tenang. Apa yang bisa menentramkan hatiku. Dan bagaimana?

Lalu kutemukan Ar-Rahman: 19 kali ayatnya berseru: 

"fabiayyi aalaa i rabbikumaa tukadz dzibaan...." 
"Maka, nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?"

Ya Allaah... Apakah aku termasuk makhlukMu yang kurang bersyukur? Aku tersungkur, terpekur dan menangis.... Flashback hidupku kembali terputar di memoriku. Astaghfirullaahal'adziim... Ya Allah, adakah ampunan untukku yang lalai...???

Kesadaran yang menampar bertubi membuatku makin terpuruk masuk ke dalam diriku. Aku begitu gundah. Gegap gempita dengan semua kurangku. Tak kutengok lagi apa kata orang, sebab yang mereka semua katakan tak ada yang lebih buruk dari apa yang kutemukan dalam diriku. Allah.... Adakah ampunan untukku?

Tidak ada yang bisa melerai hatiku, sampai aku dipertemukan sebuah ayat singkat dalam Al Qur'an. Dipenggal ayatnya kubaca: 

"... Hanya dengan mengingat Allah, maka hati sanubari menjadi tenang."
(Ar Ra'du: 28)

Kembali aku tersungkur, terpekur dan menangis. Allaah telah memberikan petunjuk. Lalu bagaimana aku memaknainya? Inikah dzikir? Dzikir yang bagaimana?

Tidak! Ayat itu bukan hanya bermakna agar Aku memperbanyak berucap istighfar, berucap takbir, atau hamdalah. Sebab toh selama ini secara otomatis aku telah melakukannya. Namun bagaimana caraku mengingat Allah agar hatiku menjadi tenang? Aku begitu pepat, hatiku dan pikirku terasa mampat. Sampai pada akhirnya aku berteriak pada Allah...

"Ya Allah! 
Sampun! 
Aku menyerah! 
Sumonggo Gusti, sedoyo kersanipun penjenengan!"

Aku benar-benar menyerah. Kupasrahkan semua hanya pada Allah. Setelah itu aku jalani saja hidupku. Tak kupikirkan apa-apa, terutama hal-hal buruk yang mencemaskanku dan membuat hatiku takut. Kulakukan yang bisa kulakukan dengan sebaik-baiknya. Tak kupikirkan lagi nantinya mau jadi bagaimana.

Dan, Subhanallaah... Hidupku perlahan mulai tertata. Semua sumber kecemasanku mereda. Sakitku satu persatu teratasi, aku menjadi semakin sehat. Masalah satu persatu terselesaikan. Bahkan jodohku datang, aku dipertemukan Allah dengan seorang lelaki sederhana berhati baik yang sangat penyayang lagi murah hati. Lalu kini, di usia pernikan kami yang memasuki 2 tahun ini akupun hamil secara alami. Laa haula wa laa kuwwata illaa billaah...

Apakah ini makna dzikir? 
Mengingat Allah dalam setiap langkah. 
Berserah diri sepenuhnya kepada Allah....

Begitulah kisahku. Bukan tausiyah, tapi Berbagi pemahaman dan pemaknaan hidup.

Hikmah (1)

PUCUK DICINTA ULAM PUN TIBA


Bertahun lalu, aku sudah lulus SMA dan menjadi mahasiswa biologi yang unyu-unyu.... Kesukaanku pada bunga, pepohonan, hewan, hutan, dan laut membuatku terjerumus ikut-ikutan aktif di LSM lingkungan yang menginduk ke WALHI. 

Suatu ketika kami punya gawe, mengadakan pameran, lomba menulis cerpen untuk anak SMA, dan workshop. Semuanya bertema "Pesona Merapi". Kami lembur berhari-hari, sampai sehari sebelum hari H kami baru selesai waktu senja menjelang maghrib. Semua teman pulang, sebagian berboncengan motor, sebagian ngonthel pit jengki dan pit mini. Tinggallah aku di depan gedung UC UGM. Sendiri, sedikit lapar, dan dalam dilema. 

Dilema?
Mengapa?

Ah, masalah klise. Di kantong baju uang sakuku tinggal 1.200 rupiah. Periode 1998-1999 uang sebesar itu cukup untuk ongkos ngopades. Tapi bila aku naik kopades untuk pulang ke rumah Ngori artinya aku harus puasa malam ini dan kelaparan besok pagi. Dan sebaliknya, uang itu memang cukup untuk membeli semangkuk bakso atau soto, tapi bila aku jajan maka aku harus jalan kaki pulang ke Ngori. Sungguh dilema buah simalakama... Padahal tubuhku telah capek sekali dan perutku lumayan keroncongan.

Aku tertawa sendiri akhirnya. "Hahaha, Ya Allah, terjadi lagi, dilema kenyang tapi kaki gempor atau kaki nyaman tapi perut lapar.... Hem..."

Aku keluar gerbang UC, sendirian. Anehnya, aku bukannya jalan ke arah bunderan ke tempat stopan kopades, tapi malah jalan ke arah Graha Sabha. Pas mentok di trotoarnya, aku nglemprak, termangu. Njuk tanpa sebab yang nyata malah terpesona pada Senja, menghormat ke matahari yang sukses melakukan kuningisasi langit barat. Benar-benar kelakuan di luar nalar...

Nah, lagi asyik-asyiknya bengong memandang matahari senja, aku dibikin terkejut oleh suara ibu-ibu setengah sepuh, "Nduk.... Maaf.... Apa njenengan bawa makanan nduk?"

Aku tentu saja langsung menggeleng. Si ibu terlihat sedih, dan lesu. "Nggih sampun.." katanya seraya ikutan ndeprok di trotoar.

Kupandangi ia. Secara instingtif aku merasa si ibu telah berjalan jauh. Ia tampak kehausan dan lapar. Dan menilik bajunya yang rapi meskipun lusuh, ia bukan pengemis. Lalu tiba-tiba saja mulutku ini berkata, "Bu, di bunderan sana ada angkringan atau penjual soto, makanlah ke sana. Ini, bawa saja uang ini." Dan uangku yang cuma 1.200 rupiah itu pun berpindah ke tangannya yang gemetar. Aku melihat mata si ibu menyorotkan rasa terima kasih, tapi juga malu. Dugaku, ia tak terbiasa menerima sedekah orang. Perlahan dia pergi ke arah yang kutunjukkan.

Lalu Aku? Ah, sepeninggal si ibu kegiatanku bertambah. ujung-ujung jariku tak henti menggaruk kepala yang nggak gatel, ganti mengusap-usap perut yang makin lapar, lalu memijit-mijit kaki yang makin terasa pegal. Ya Allah, jadi deh... kelaparanlah aku malam ini dan kaki tambah gempor jalan kaki 7 km pulang ke Ngori. Laa haula wa laa kuwwata illaa billaah...

Lalu adzan berkumandang dari arah masjid kampus. Baiklah... saatnya sholat maghrib...

Tapi belum lagi aku bangkit berdiri, sebuah sepeda motor berhenti di depanku. "Lin, ngopo e maghrib-maghrib isih ning kene?" sapanya. 

Aku jelas kaget dan geragapan. Siapa gerangankah ini? Masya Allah, ternyata Fahmi! Aku tertawa. "Ya Allah, kau kirimkan Fahmi untukku?!" sorakku dalam hati. Tanpa banyak kata langsung saja aku membonceng motornya. Terus ke mana? Yah, pasti mampir ke rumahnya laaaahhh... He he he... rumah Fahmi di Kana 5 adalah base camp kami para mantan anak Moehi 97. Terus surprise-nya, Fahmi bilang di Kana 5 ada Sigit dan Hasyim! Nah lo! Allah mau kasih kejutan apa lagi ya? Ha ha ha.

Di Kana 5 kami sholat maghrib berjamaah. Setelah itu, begitu salam terucap dan sajadah dilipat, Hasyim bilang, "Mi, ngelih ki, ayo metu!"

Wa, ini... rejeki datang ni...

Nyengir senang aku ngikut saja ke mana mereka pergi. Nggak jauh- jauh juga siiihhh, cuma ke arah Selokan Mataram. Ada Jakarta Fried Chicken di situ. Makan malam yang sangat mewah untukku. Sepuluh kali lipat uang 1.200 rupiahku tadi.

Kalau sudah begini, apa aku akan mendustakan nikmat Tuhanku? Apa aku akan mengingkari kebenaran janji Allah??? Kenyataannya Allah langsung membayar kontan janjinya. Sedekah hambanya diganti 10 Kali lipat, bahkan lebih. Bukankah Allah mempertemukanku dengan para sahabat hatiku? Bukankah Allah telah mengenyangkan perutku? Bukankah Allah telah meringankan langkahku yang semula berat ini sebab selepas isya akupun diantar pulang oleh Sigit sampai rumah? 

Masya Allaah...
Alhamdulillaah...

Selasa, 20 Oktober 2015

Para Murid (1)

Asa Sang Pemilik Harapan


Kusebut ia Asa yang berarti harapan, karena tentu saja setiap anak adalah perwujudan harapan dari kedua orang tuanya. Setidaknya, itulah yang selama ini kuyakini. 

Sore telah menurun menjemput senja. Binar jingga mentari menguas langit barat. Pukul lima kurang seperempat, itu bunyi penunjuk waktu di HP Chinaku. Perlahan aku berjalan menuju gerbang depan, Insya Allah sebentar lagi suamiku akan datang menjemput. Di pelataran Play Ground TK langkahku bersirobok dengannya. Dia Asa, yang entah kenapa terlihat begitu tekun berlari memutari Play Ground.

“Asa, kok belum pulang?” sapaku. 
Sambil melintas cepat ia menyahur, “Iya Ms. Alin, sudah biasa!”

Biasa? Yah, memang aku sering melihatnya masih tinggal di sekolah sampai sore. Tapi baru kali inilah aku begitu tertarik ingin mengajaknya bercakap. Juga ingin tahu mengapa ia terus berlari keliling play ground seperti itu. Maka aku sengaja berhenti dan duduk di bangku keramik depan perpustakaan barat, menunggunya.

Asa terus berlari sampai beberapa putaran. Kusadari kini ia telah tumbuh tinggi. Tinggi badannya bahkan telah melampauiku. Ah, aku masih ingat dulu seperti apa Asa di kelas 4. Asa anak yang sangat pendiam, cenderung bersikap soliter, tak pernah terlihat bermain bersama teman sebayanya. Asa mengubur hari demi harinya dengan membaca buku. Seringkali ia kehilangan waktu di pojok perpustakaan. Di antara teman-teman dan para gurunya, Asa sering hilang tak terlihat. Adalah hal biasa ia tertinggal pelajaran sampai sejam karena tak menyadari bahwa waktu istirahat telah usai. Ia tenggelam di dunia buku. Sungguh, Asa adalah anak yang berkawan sunyi. Kubayangkan pastilah hidupnya sangat sepi.

Ketika ingatanku berkilas balik, tak terasa 5 putaran lari telah ia selesaikan. Kini kulihat Asa berhenti, berdiri setengah terbungkuk dengan napas terengah-engah. Butir-butir keringat menurun malas di wajah dan lehernya. Kubiarkan ia beberapa saat hingga kulihat membaik dan napasnya tak lagi terdengar memburu. Lalu kulambaikan tangan memanggilnya, kuajak ia duduk di sampingku.

Asa beranjak ke arahku. Tangannya terulur meminta bersalaman denganku. Kusambut tangan itu dan kubiarkan ia membawanya ke arah hidungnya. Aku tersenyum, ah, terasa basah, tentu karena seluruh pori wajahnya berseliput peluh.

“Ada apa, Ms. Alin?” tanyanya.
“Tak ada apa-apa,” jawabku, “hanya sedang menunggu jemputan.”
“Oh,” gumamnya, lalu ia duduk, diam.
“Capek, ya?” pancingku, mengajaknya bicara. Ia memberikan jawaban tanpa kata, hanya mengangguk, "Kok kamu lari-larian gitu? Kenapa?” tanyaku lagi. 
Asa menunduk, “Nggak kenapa-napa, cuma kepengin lari aja.”

Sejenak kupandangi wajahnya, mencoba mencari kata yang tersembunyi di balik wajah minim ekspresi yang diperlihatkannya pada dunia. Aku memutar otak, berusaha menemukan rangkaian kata yang tepat untuk melanjutkan obrolan dengannya. Aaaaaahhhh.... ternyata tak mudah. Asa terlalu pasif. Hidup sunyinya seakan telah menjadi bagian identitasnya. Duduknya tegak diam, namun matanya.... ah, entahlah...

“Biasanya orang selalu punya alasan untuk melakukan sesuatu. Tidak mungkin tidak...,” lanjutku. Aku tak berharap banyak bahwa ia akan menanggapinya. Tapi...
“Aku hanya iseng, kok,” gumamnya.
Iseng?! Keningku berkerut, hatiku tak mau percaya, “Iseng? Jogging serius sampai keringetan gitu? Sampai napasmu ngos-ngosan gitu? Cuma iseng?” tanyaku bertubi.
Asa tak punya senyum. Wajahnya tetap minim ekspresi. Tapi ia menjawab, “Iya Ms... Aku iseng. Cuma buat ngilangin bosen.”
“Oh!” hanya itu tanggapanku, dan aku kehilangan kata lagi untuk beberapa saat, “Baguslah Asa milih lari-lari untuk membunuh rasa bosan. Kegiatan yang menyehatkan.” Kataku akhirnya, sok bijak, “tapi biasanya Ms. Alin selalu melihatmu membaca buku. Di sini, di ayunan itu, juga di kursi pos satpam. Apa hari ini Asa nggak bawa buku? Ms. Alin bawa, lo...”
Kulihat perubahan di wajahnya. Tetap terasa sunyi dan jauh. Dan matanya itu..., “Buku juga kadang jadi membosankan, Ms.... Aku Cuma ingin hari ini segera selesai...”

Deg! Uuuuhhh.... Ya Allah... Aku sedang tersesat di mana ya? Anak ini sungguh tak biasa. Kini kupandangi ia baik-baik. Tiba-tiba saja hatiku ingin memastikan bahwa ia baik-baik saja. Kini kusadari bahwa perubahan wajahnya adalah perubahan yang gelap. Asa tengah menarik emosinya masuk jauh lebih dalam, menyimpannya rapat hanya untuk dirinya sendiri. Selama kami mengobrol, tak sekalipun matanya menatapku. Matanya memandang ke mana-mana namun sebenarnya tak melihat apa-apa. Kesannya sepi, sendirian, tak tertambat. Matanya cerminan jiwa yang berlaku seperti layang-layang putus tali, berharap ada seseorang yang kelak kan menangkapnya.

“Asa, kok Ms. Alin lihat setiap hari kamu selalu pulang sore? Siapa yang menjemput?” tanyaku, mencoba menggali lebih dalam.
“Nggak cuma pulang sore, Ms... Seringnya pulang manghrib,” jawabnya tandas, “Mama yang mengantar jemput.”
“Oh, mamamu kerja?
“Iya, mama kerja sampai jam lima.”
“Kenapa kamu nggak ikut antar jemput sekolah?”
“Kata mama mahal, Ms... Lagian di rumah juga sendirian, nggak ada siapa-siapa. Sama aja.”
“Begitu?”

Baru saja aku mau melanjutkan pembicaraanku, HP-ku berbunyi nyaring, miss call dari suamiku. Ia telah menungguku di depan gerbang. Kupandangi anak itu sejenak. Lalu terpaksa aku berpamit kepadanya,” Maaf, Asa, Ms. Alin pulang dulu.”
“Sudah dijemput, ya?”
Aku mengangguk. Asa mengulurkan tangannya lagi dan kami bersalaman. Kutinggalkan ia sendirian. Penunjuk waktu berdetik di angka 17.20.

Di sepanjang perjalanan pulang aku diam. Pikiranku dipenuhi oleh berbagai hal. Perasaanku tertarik ke sana ke mari. Dan diamku membuat heran  suamiku.

“Kenapa, Ndhuk? Ada apa?”
“Nggak kenapa-napa, Abi...”
“Kok diam? Biasanya kamu langsung ceriwis, cerita ini itu.”
“Nggak papa, Bi. Alin agak capek.”
“Oh, Kelamaan nunggu Abi, ya? Maaf, Ndhuk, tadi ada pertemuan dengan suplayer... Pulangnya jadi molor.”
“Iya Bi, nggak papa.”

Motor kami terus melaju. Aku terus terdiam dan suamiku membiarkanku seperti itu sampai rumah.

Sampai di rumah aku merasa benar-benar “klenger”. Kehamilanku yang telah masuk usia 3 bulan ternyata sangat mempengaruhi ketahanan fisikku. Perutku terasa kencang, tapi syukurlah kali ini tanpa rasa mual. Suamiku tanggap pada kondisiku. Ia memapahku ke kamar dan memintaku berbaring saja. Aku menurut.

Tak berapa lama bunyi air mendidih dalam cerek terdengar kencang, disusul bunyi ceklikan tanda api kompor dimatikan. “Ndhuk, mandi dulu, air panasnya sudah siap! Ayo, biar bisa segera sholat maghrib!” seru suamiku.

Perlahan aku bangun. Rasanya berat sekali. Tapi kerja keras suamiku bukan hanya itu. Ternyata di meja makan telah tersedia 2 gelas teh hangat, satu untukku dan satu untuknya. Sungguh, aku jadi terharu. Alhamdulillaah, suamiku begitu baik.

“Handuknya sudah di kamar mandi, Ndhuk.”
“Iya, Abi. Terima kasih,” sahutku. Aku segera mandi. 

Guyuran air hangat terasa nikmat, dan kehangatan kasih suamiku membuatku nyaman. Allah sungguh Maha Rahman dan Rahim. Tapi meskipun begitu, masih saja pikiranku lekat pada Asa. Ada timbunan rasa yang belum terselesaikan di hatiku. Sampai selepas Isya masih juga aku terus diam termenung.

“Ndhuk, kamu baik-baik saja? Tak ada yang terasa sakit, to?” tanya suamiku dengan khawatir.
“Alin nggak papa,” jawabku.
“Ayo cerita! Pasti ada sesuatu yang kamu pikirkan,” pintanya.

Pada akhirnya kukatakan semua padanya, tentang Asa. Kuceritakan keseharian anak itu, juga keterpaksaannya menunggu jemputan yang selalu amat sangat telat setiap hari. Kuceritakan juga kejadian sore tadi. 

Beberapa saat suamiku terdiam. Tapi kemudian ia berkata, “Kasihan anak itu, Ndhuk. Coba, di saat semua temannya telah pulang, beristirahat, mandi, bercengkerama atau bermain dengan teman-teman dan saudara-saudaranya, anak itu masih harus menahan rasa bosan berjam-jam. Kebayang, kan? Pasti setengah mati rasanya.”

Aku mengangguk. Memang bayangan seperti itulah yang dari tadi terus menari di hatiku.

“Anak itu pastilah telah berusaha begitu keras membunuh rasa pegalnya. Ya pegal di hati, ya pegal fisik di punggung dan kaki-kakinya. Gendhuk sendiri pasti paham tentang ini, sebab hampir tiap hari juga Gendhuk menunggu jemputan Abi,” lanjutnya.

Aku mengangguk lagi. Memang semua hal itu juga telah berlarian di pikiranku sedari tadi.

“Dan hal yang paling menyedihkan adalah anak itu sebenarnya sangat kesepian...” pungkas suamiku.

Demi mendengar kalimat terakhir ini, pertahananku jebol. Air mataku mengalir. Aku terisak-isak. Suamiku terkejut dengan reaksiku. Dengan lembut ia peluk aku, dibusainya rambutku, “Kok malah nangis? Apa Asa sangat berarti untukmu? Apa Asa sangat penting bagimu?”

Penuhnya rasa di dadaku membuncah. Seperti lelehan lava, akhirnya semua mengalir lewat mulutku, “Abi benar, anak itu kesepian. Sejak kapan? Oh, mungkin sejak ia dilahirkan.... Abi, kedua orang tuanya bekerja, berangkat pagi pulang sore hingga malam. Sejak kapan? Oh, mungkin sejak Asa belum lagi dilahirkan.”

Suamiku mendengarkanku, dan banjir air kata-kataku menderas, “Abi, tadi Asa bilang bahwa pulang lebih awal pun percuma, sama saja, tak ada siapa-siapa di rumah. Sejak kapan itu berlangsung? Oh, mungkin sepanjang ingatan hidupnya. Bayangkan, Abi, apa yang paling dibutuhkan seorang anak?”

Suamiku menghela napas, namun sepertinya ia tahu aku belum selesai. Ia menungguku meneruskan kata-kataku.

“Anak yang normal membutuhkan pelukan kasih orang tuanya. Kemampuan verbal, kemampuan berkomunikasi dengan orang lain, kemampuan menjalin pertemanan, semua itu akan berkembang dengan baik bila anak memiliki cukup waktu bercengkerama dengan orang-orang yang seharusnya terus mengawal perkembangannya. Asa kehilangan itu semua.”

Aku terus terisak. Banyak sekali yang ingin kukatakan susul-menyusul. Tapi semua itu terlalu banyak. Suamiku dengan sabar terus membelaiku. Ia ingin aku bisa mengeluarkan semua isi hatiku. Ia merasa adalah penting baginya memastikanku dalam keadaan baik, secara emosinal maupun fisikal. Dan ia tahu, kali ini aku sedang berada di puncak kecemasanku.

“Abi, yang membuatku prihatin bukan sekedar masalah telat menjemput setiap hari itu, tapi akar permasalahan yang berefek pada perkembangan kepribadian anak itu. Asa adalah anak yang kesepian. Kesepiannya diakibatkan karena ia selalu merasa ditinggalkan sendirian oleh orang-orang yang seharusnya ada di sampingnya, yang seharusnya melindunginya, memahami kecemasan, kesedihan dan ketakutannya, yang mau mendengarkan ceritanya baik yang gembira maupun sedih, yang seharusnya dapat dipercayainya. Dalam hal ini tentu saja orang itu terutama adalah kedua orang tuanya.”

“Asa merasa dirinya tidak berharga karena selalu menjadi nomor dua atau yang kesekian dari semua prioritas yang ada. Ia menjadi begitu pasif menyikapi lingkungan sekitarnya. Ia mengalami kesulitan yang sangat besar untuk mengembangkan cara-cara bergaul yang baik dan menyenangkan sehingga selalu gagal menarik perhatian dan mendapatkan simpati teman atau sahabat. Ia kehilangan kemampuan menjalin kontak sosial dengan teman-teman sekolanya. Asa kehilangan kepercayaan diri hingga cenderung mengisolasi diri.”

“Selama ini, Asa berusaha lari dari perasaannya. Pelariannya adalah buku. Ia membaca, membaca dan terus membaca. Tapi buku bukanlah kawan yang bisa diajak bicara dan berbagi perasaan. Buku tak bisa diajaknya bermain dan tertawa lepas untuk suatu yang konyol dan menggelikan. Buku tak selalu bisa memberikan pelepasan emosi dari setiap ketakutan dan kemarahan yang dipendamnya. Buku tetap terus membisu ketika ia membutuhkan dukungan yang menguatkan semangatnya. Dan pada titik puncak kehampaannya, buku pun menjadi membosankan.”

“Dan kali ini, Asa lari dari kesepiannya dengan membawa lari tubuh kurusnya itu. Ia terus berlari-dan terus berlari sampai ia tidak kuat lagi berlari. Ia lakukan itu untuk mematikan kesepian di hatinya, membunuh rasa bosan. Tapi mungkinkah itu?”

Hening meraja. Isakku tertahan-tahan. Napas suamiku terasa di keningku. Dadanya telah basah oleh air mataku. Tatap matanya redup, menandakan dalamnya renung yang ia lakukan. Ia masih terus berusaha mencari pemahaman, mengapa aku bereaksi begitu emosional tentang permasalahan Asa. Dugaan awalnya sederhana, aku sedang sensitif karena kehamilanku. Semua orang toh sudah membekan warning padanya bahwa perempuan hamil cenderung memiliki gejolak emosi yang tak stabil. Naik Turin, gampang marah, gampang nangis. Tapi tetap saja ia merasa bahwa kali ini aku bukan sekedar sedih, tetapi justru menyimpan kecemasan yang dalam.

"Abi, di sekolahku, bukan hanya Asa seorang yang mengalami kesepian. Ada banyak anak lainnya. Gejala perilaku yang mereka tunjukkan berbeda tapi intinya sama. Anak-anak itu mengalami kesulitan yang sangat besar untuk bersosialisasi dengan teman-teman sebayanya. Asa adalah tipe menarik diri. Ada yang bertipe agresif, 'ngladaki', cenderung bersikap tidak menyenangkan terhadap teman dan tak sopan pada guru. Ada juga yang kedewasaan emosi dan penalarannya menjadi tak berkembang sesuai perkembangan umurnya. Dan aku takut, Abi.... Alin sungguh merasa takut..." keluhku. 

"Anak-anak itu berada dalam keadaan yang sama, keberadaannya terkalahkan oleh kesibukan kerja orang tuanya. Mereka serba tercukupi secara finansial, bahkan berlebih. Namun kebutuhan dasarnya yang lain akan rasa nyaman, pemenuhan cinta, rasa aman terayomi begitu kurang. Jiwa mereka menjadi kering dan layu. Jiwa-jiwa yang terlantar dari kasih orang tuanya sendiri." Kuhela napasku yang tersengal dalam isak, "Alin takut, Abi... Sungguh-sungguh merasa takut..." 

Tubuh suamiku bergerak. Ia kecup keningku, ia busai punggungku, dan berbisik, "Ndhuk, sekarang Abi mengerti.. Abi paham mengapa kamu sangat cemas, mengapa kamu menangis..." Sembari mengatakan itu, tangan suamiku beralih ke perutku, mengelusnya lembut, "Kamu mencemaskan anak ini, kamu takut apa yang menimpa Asa akan dialami juga oleh anak kita..."

Aku tergugu. Kupelukkan tanganku erat ke tubuhnya, kubenamkan wajahku makin dalam ke dadanya. Aku tak menjawab, tapi bahasa tubuhku telah cukup sebagai jawaban. Suamiku menghela napas, "Ndhuk, tidak akan... Kita tidak akan membiarkan itu!" tegasnya.

"Abi, lihatlah keadaan kita. Setiap hari kitapun harus bekerja. Setiap hari kita pulang di atas jam lima. Setiap hari sesampainya di rumah kita sama-sama kecapekan, klenger, payah, keleh-keleh. Bahkan hanya untuk mrnyiapkan minum dan makan malam untuk Abi, Alin membutuhkan usaha demikian besar saking lelahnya. Abi sendiri tahu, fisik Alin tidak kuat, Alin juga temperamen, emosi Alin begitu gampang tersulut, dan makin menjadi karena kelelahan"

"Ndhuk, di mata Abi, Ndhuk Alin baik-baik saja. Kamu istri yang baik. Abi tahu semua usaha terbaikmu. Abi senang dan Abi berterima kasih. Abi yakin, kelak nanti ketika anak kita lahir, kamu pun akan sanggup menjadi ibu yang baik."

"Abi, apakah keyakinan saja cukup?"

"Yang terpenting di sini untuk menghadapi masalah ini adalah kesadaran. Kesadaran bahwa anak adalah amanah Allah, keselamatannya fid dunya wal akhirat adalah tanggung jawab kita. Kesadaran, Ndhuk... Bukan sekedar pengetahuan. Kita harus selalu menyadari, bukan sekedar mengetahui."

"Abi.... Tapi....,"

"Ndhuk, kesadaran itulah awal pijakan kita untuk selalu meletakkan prioritas hidup. Kita tidak akan pernah mengedepankan kepentingan kerja yang hanya untuk kerja di atas kewajiban kita terhadap anak. Insya Allaah...."

"Berpikirlah positif, Ndhuk... Dudukkan semua hal pada posisi semestinya. Lakukan yang terbaik dari apa yang harus kita lakukan. Tidak perlu berlebihan dalam menyikapi apapun. Kita akan hadapi hidup kita bersama, Ndhuk. Kita akan saling mengingatkan. "Setelah itu, pasrahkan semua pada Allah. Allah-lah pemilik segala kekuatan dan daya upaya. Allah-lah tempat kita menyembah, tempat kita meminta pertolongan, dan tempat kita kembali."

Aku makin tergugu. Kecemasanku mengalir keluar. Aku butuh waktu untuk mengolah dan mencerna semua ini. Aku butuh waktu untuk menenangkan diri. Tapi aku percaya, sangat mempercayai kesungguhan suamiku. Dan untuk saat ini, itu cukup.

"Istirahat, Ndhuk.... Tidurlah!"
"Ya, Abi..."

***** Kutuliskan cerita ini dalam Grup "Ayo Menulis" di SD BMD Yogyakarta *****

Rabu, 25 Februari 2015

PUISI TRADISIONAL (1): HAIKU

 HAIKU


Aku selalu menyukai puisi, baik puisi modern maupun puisi tradisional. Kali ini, sebuah bentuk puisi tradisional yang sangat sederhana mengusik minatku, justru karena kesederhanaannya yang bermakna dalam.

Puisi yang kusuka itu bernama Haiku, salah satu bentuk puisi tradisional Jepang. Haiku dapat berdiri sendiri sebagai satu bait puisi yang utuh atau menjadi bagian dari rantai sajak yang lebih panjang yang terdiri dari beberapa bait. Dan sebagaimana halnya semua bentuk puisi tradisional, Haiku pun memiliki aturan-aturan atau kaidah-kaidah tertentu.

Aturan Haiku adalah sebagai berikut:
1.    terbagi dalam tiga baris
2.    terdiri dari 17 suku kata
3.    setiap baris terdiri dari 5, 7, dan 5 suku kata
4.    tidak memiliki rima/persajakan
5.    memiliki “kigo” atau kata penunjuk musim pada saat haiku itu ditulis

Sebagai penanda musim, kata “salju” sering dipakai untuk musim dingin, sedangkan kata “kuntum bunga” sering dipakai sebagai penanda musim semi. Namun kata penanda musim ini tidak selalu terlihat jelas, kadang bahkan sangat tersamar. Matsuo Basho sering menggunakan kata Kawazu yang secara harfiah berarti katak. Di Jepang, katak-katak muncul di sawah pada saat musim semi, maka kata “katak” dipakai sebagai penanda musim semi. Matsuo Basho juga sering menggunakan kata Sigure. Kata Shigure secara harfiah berarti mandi hujan, sebuah tradisi yang dianut masyarakat Jepang. Tradisi ini biasa dilakukan pada akhir musim gugur atau awal musim dingin.

Contoh Haiku karya Matsuo Basho adalah sebagai berikut:

Di kolam tua
Katak melompat masuk
Kecipak air


Dalam bahasa Jepang, kaidah-kaidah penulisan haiku sudah pakem dan harus diikuti, namun dalam bahasa lain, kadang sulit untuk mengikutinya sehingga biasanya menjadi lebih longgar. Saat ini tiap-tiap tradisi bahasa mengikuti aturan-aturannya sendiri sesuai sifat alami bahasa di mana haiku tersebut dituliskan.

Di bawah ini adalah contoh Haiku karya orang Indonesia:

Aku tersedu
Berguru pada semut
Menempuh hidup


(Haiku karya Eka Budianta)

Sebenarnya tantangan terbesar dalam penulisan haiku justru adalah bagaimana mengirimkan pesan atau kesan kuat yang mampu melukiskan imajinasi hanya dengan mengandalkan 17 suku kata dalam tiga baris. Maka pada umumnya isi Haiku sangat sederhana dan mudah dipahami semua orang.

Bahkan penulis Haiku yang sangat terkenal seperti Matsuo Basho justru menggambarkan kehidupan keseharian. Ia menuliskan keseharian itu sedemikan rupa sehingga dapat memberikan sudut pandang baru dari keadaan biasa itu. Masyarakat Jepang menganggap karya-karya Matsuo Basho sebagai Haiku yang sangat kuat menorehkan kesan. Karya-karyanya banyak disitir dan diterjemahkan dalam bahasa-bahasa lain dan sering dijadikan rujukan penulisan haiku di seluruh dunia.



Selasa, 30 Desember 2014

Kura-Kura Penakut (2)

Fobia Air Dalam dan Fobia Ikan


Kang Mas Bojo puas luar biasa. Dia sangat bersemangat membawa pulang kura-kura keduanya yang besarnya dua kali lipat yang pertama. Maghrib-maghrib, Kang Mas Bojo langsung melepaskan si kura-kura ke kolam, sehingga ia tidak sempat memperhatikannya lama-lama, keburu harus sholat dulu...

Selepas sholat, Kang Mas Bojo nggak sronto, pengen segera melihat kedua kura-kura kesayangannya. Sebenarnya aku punya dugaan, paling si kura-kura baru akan bertingkah sama dengan yang pertama. Kura-kura pertama (Si Kecil) sangat pemalu. Begitu dilepas langsung menghilang dari pandangan, bersembunyi di balik tanaman air atau kayu terapung yang sengaja dipasang di dalam kolam. Tiap kali melihat kelebat kami, Si Kecil langsung slulup mblingsep, itu membuatnya sulit diamati. 

Kupikir kura-kura baru (Si Besar) akan seperti itu juga, pemalu, tukang sembunyi, naluriah alamiah menjalankan strategi penyelamatan diri. Jadi sebenarnya yo sudahlah, biarkan saja dia bebas di kolam barunya. Tapi antusiasme pemula memang selalu seperti gunung meletus, berenergi sangat besar dan meletup-letup! He.. he.. he..

Kang Mas Bojo langsung mengambil lampu belajar yang cahayanya ia sorotkan dari jendela kamar adikku langsung ke permukaan kolam. Yeah, maklum, beberapa hari lalu lampu sorot kolam ihnil mangfus (mati dengan sukses). Setengah nungging, dagu di kusen jendela, jambul rambut nongol dikit, Kang Mas Bojo mengintip hati-hati. Dan dia terdiam seperti itu lama sekali. Iseng-iseng kutanya, "Kenapa? Kura-kuranya nggak keliatan? Sembunyi?"

Kang Mas Bojo menggeleng pelan, dahinya mengernyit, ekspresinya aneh. Yang kutangkap di wajahnya ada keheranan tingkat tinggi, dan kegelian yang makin lama makin membesar. Entahlah.... "Kenapa?" tanyaku lagi. Kang Mas Bojo hanya menjawab singkat, "Lucu!"

Keingintahuanku terpicu, jadi aku ikut-ikutan nungging di depan jendela, mengkopi habis posisi Kang Mas Bojo, tepat di sampingnya, "Mana-mana si kur-kur?" Tapi belum lagi Kang Mas Bojo menjawab, mataku telah menangkap gerak Si Besar. Memang sungguh aneeehhh.... 

Ini yang kuperhatikan:
  1. Kaki-kakinya bergerak ipik-ipik serabutan, panik cari pijakan.
  2. Berusaha keras terus mengambang di permukaan, tak mau menyelam.
  3. Gampang terkejut, terintimidasi oleh gerakan ikan-ikan yang berenang seliweran di dekatnya. Tiap kali sirip ikan berkelebat, Si Besar bergerak membelok berlawanan arah, menjauh-menjauh-menjauh.... Oooohhh... tidaaakkkk.... ekspresi Si Besar tampak begitu ketakutan, Stress berat! 
Entahlah, aku kasihan, tapi tetap saja Si Besar membuatku tertawa juga! Mana ada kura-kura air yang takut tenggelam? Mana ada kura-kura pemakan ikan yang takut sama ikan? Heeeeehhhh......

Kang Mas Bojo langsung menyuarakan analisisnya, "Si Besar takut air dalam, juga takut ikan." Dalam hati kubilang, pikiranku sama! Kang Mas Bojo melanjutkan, "Ini pertama kalinya dia ketemu ikan, ini juga pertama kalinya dia berenang di kolam."

Eh???!!! Kupandangi Kang Mas Bojoku, ingin memperjelas apa maksudnya, maka kusahuti, "Maksudmu, Si Besar seumur hidup sejak menetas dari telur terus tinggal di akuarium kecil, tanpa air, atau kalau toh ada air, maka airnya nggak lebih dari sepuluh senti?"

Kang Mas Bojo menjawab, "He-eh, terus dipelihara dengan cara seperti itu, hanya diberi makan pelet kura-kura, nggak kenal makhluk lain selain pemeliharanya. Pantes, dia nggak takut sama manusia, tapi super ketakutan sama ikan. Pantes dia panik kecemplung di air kolam yang dalam, nggak berani menyelam, takut tenggelam..."

Waaahhhh.... tragis!
Aku kukur-kukur rambut.
Seperti inikah dampak buruk domestikasi tanpa hati? Makhluk air sampai kehilangan naluri untuk hidup di air. Sungguh iba aku memperhatikan gerak renang canggung si kura-kura. Aku jadi khawatir juga, apa stress bisa membuatnya mati?

"Bagaimana? apa perlu kita ambil saja? Nggak usah dipiara di kolam?" tanyaku. Kang Mas Bojo diam agak lama, namun akhirnya ia menjawab, "Tidak, biarkan saja begitu, lama-lama juga akan terbiasa." Aku mengangguk, "Berapa lama?" tanyaku. "Entahlah..." jawabnya.

Dan ternyata proses adaptasinya butuh waktu yang sangat lama. Dua minggu kemudian Si Besar belum sepenuhnya normal. Memang siiiihhh, Si Besar sudah tidak takut ikan lagi. Ia sudah bisa berenang dengan tenang di permukaan kolam. Ia juga sudah bisa berenang menyelam ke dalam kolam, tapi hanya selintasan dan langsung muncul kembali ke permukaan. Namun demikian, ia sama sekali belum mampu menyelam dan berdiam diri di dasar kolam. Ia selalu memilih untuk berlama-lama bertengger di atas batang kayu terapung....

Kura-Kura Penakut (1)

Kisah Kasih Kami Mendapatkanmu, Kura-Kura....!!!!!

 
Di komunitas kolam kecilku ada pendatang baru, seekor kura-kura Brazil yang sudah lumayan besar ukurannya, kira-kira berdiameter 15 cm. Kang Mas bojo menemukannya di pedagang ikan eceran yang mangkal di perempatan Tajem, tepat di depan makam. Kata penjualnya, kura-kura itu hasil barter dengan seorang hobiis yang sudah bosan padanya dan ingin menggantinya dengan memelihara ikan saja. Jadi si kura-kura yang telah dipeliharanya selama 2,5 tahun ditukar dengan belasan ikan mas komet dan koi kecil-kecil...

Kura-kura itu ditempatkan dalam toples plastik kecil, dengan volume air seperempatnya saja. Dan toples itu diletakkan begitu saja di dasar bak mobil pick up yang dipakainya untuk berjualan. Jadi tidak dipajang di rak-rak ikan. Dan si pedagang juga tidak menawar-nawarkannya pada pembeli. Dibiarkan begitu saja. Tapi dasar kang mas bojo punya mata begitu jeli dan rasa ingin tahu yang segede gunung, ia iseng-iseng melongok ke segala arah, dan langsung nembak, "Pak, kura-kuranya ini dijual berapa?"

Mas pedagang mak jenggirat kaget. Lalu dengan senyum ala selesman langsung menyahut, "75 ribu mas..." Kang mas bojo langsung kedip-kedip mata. Secara, beberapa waktu lalu kami muter seluruh toko ikan di jogja mencari si kura-kura, dan yang tersedia berukuran sangat kecil (diameter 7 cm) dengan harga variatif dari 15 ribu sampai 30 ribu, yang terbesar cuma 10 cm dan itupun dipatok harga 50 ribu. Nah ini, ada kura-kura sehat, besar pula, dan harganya begitu miring!

Tapi kami juga masih berusaha lo... yang namanya pedagang nggak mungkin pasang harga yang tidak menguntungkannya, tak terkecuali Mas pedagang yang satu ini... jadi tetap saja kami tawar..., "Kalau 50 ribu bagaimana, Mas? Boleh ya...?" tawarku sambil masih kedip-kedip mata ke Kang mas bojo. Si mas pedagang bengong, kang mas bojoku mesam-mesem... "Ayolah, lumayan buat sangu pulang to? udah lewat maghrib nie... desakku."

"Waa... kalau 50 belum bisa mbak... ", sahutnya. Gantian kedip-kedip mautku kutujukan kepadanya. Tapi kali ini bukan kedip-kedip penuh persekongkolan, tapi kedip-kedip memelas penuh pengharapan... Si mas pedagang langsung klepek-klepek nggak kuat, jadi sambil kukur-kukur bathuk (jidat) dia njawab, "Ya 55 deh mbak... itu harga paling murah di seluruh Jogja loooo.... nggak ada yang jual kura-kura segede itu dengan harga segini...".

Jadi!
Kang mas bojo langsung buka dompet!
We La Dalah!
Kok kurang??? 

Haduh, aku juga jadi ikutan langsung gresek-gresek tas kecilku, wah, cuma ada 5 ribu. Di tangan kang mas bojo ada 20 ribu. Lhah, kurang 30 ribu lagi! Mas pedagang memandangi kami dengan iba... lalu nyeletuk, "Kurang juga ndak papa mas, bisa disusulkan besok, wong tiap hari saya mangkal di sini kok. Kura-kuranya dibawa saja dulu..."

Jiah... Kang mas bojo sampai merah mukanya.... dia cuma bisa bilang, "Sebentar, Mas, sebentar... sepertinya ada..." 

Spontan semua saku di tubuh kami langsung kena operasi, digerayangi sampai tapis ke dasar-dasarnya. Hoooohhhh... ada dua ribuan, seribuan, eh limaribuan juga ada.... Wuih, di saku celana juga ada uang lusuh yang sudah sampai ketekuk-tekuk garing mekingking tanda telah pernah melewati cobaan mesin cuci, tapi lumayan sampai 15 ribu.... hitung-hitung-hitung.... Horrreeeee.... hasil total jenderal operasi recehan kami bisa nemu 60 ribu.... Nggak jadi maluuuuu..... 

Uang berpindah tangan, kura-kura ditangkap dengan mantap! masukkan plastik, kasih air, ikat, bungkus ke plastik kresek hitam. Kura-kura pun pindah ke tangan kami. Lalu dengan ceria semangat empat lima ala anak umur 5 tahun dapat permen, kami naik ke Azzura (motor yamaha biru kami), pencet starter, dan tancap gas pulang ke rumah... pengen segera melepaskannya ke kolam kecil kami...

Yesss!!!!

=======================
Catatan:
Kedua foto kura-kura di atas bukan fotoku, aku mengambilnya langsung dari Mbah Google. Maaf, soalnya kedua kura-kuraku masih terlalu pemalu, susah diambil gambarnya, terutama si kura-kura kecil... Oh ya, maaf juga link fotonya tidak kusertakan.... maaf....

Popular Posts